Penghancuran
di Ruang Interogasi
“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”
Penghancuran di Ruang Interogasi
Bab 19: Penangkapan
Ruangan interogasi malam itu lebih sunyi dari biasanya, namun ada perasaan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Pak Agus, pejabat tinggi yang selama ini tak tersentuh, duduk dengan tubuh yang tak lagi tegak. Aura karismatik dan penuh percaya dirinya telah pudar. Kini, hanya tersisa seorang pria yang mulai lelah menyembunyikan kebohongan di balik topeng kekuasaan.
Raka menatap Pak Agus dengan pandangan tenang, tapi tajam. Ia tahu bahwa malam ini adalah malam terakhir bagi interogasi ini. Semua bukti sudah berada di tangan. Rangkaian kesaksian, dokumen palsu, aliran dana yang tak wajar, dan percakapan rahasia yang terekam—semua telah membentuk jaring tak terhindarkan yang memerangkap Pak Agus. Malam ini, Pak Agus tak akan bisa lari lagi.
Raka meletakkan dokumen terakhir di atas meja. Tanpa berkata apa-apa, ia menyodorkannya ke arah Pak Agus. Pria itu menatap tumpukan kertas di depannya, lalu menghela napas panjang. Tangannya bergetar ringan saat ia mencoba membuka dokumen itu, tapi seolah tak punya kekuatan lagi. Di saat yang bersamaan, bahu Pak Agus tampak lebih rendah, dan wajahnya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan mental. Ia bukan lagi sosok pejabat yang penuh dengan keyakinan diri, melainkan seseorang yang dihadapkan pada kenyataan yang tak lagi bisa dihindari.
"Pak Agus," suara Raka terdengar pelan tapi tegas, "semua bukti sudah ada di sini. Kami punya rekaman, dokumen, saksi, dan semua hal yang menghubungkan Anda dengan kasus ini. Jalan keluar sudah tertutup. Tidak ada lagi yang bisa Anda sembunyikan."
Pak Agus tidak langsung merespons. Dia menundukkan kepalanya, mungkin mencari kata-kata yang bisa menyelamatkannya dari situasi ini. Namun, tak ada lagi retorika yang cukup kuat untuk memutarbalikkan keadaan. Setelah beberapa saat, dia mengangkat kepalanya dan menatap Raka dengan mata yang sudah kehilangan kilaunya.
"Saya tidak sendirian dalam hal ini," katanya perlahan. "Ada banyak orang yang terlibat. Mereka semua memiliki andil, sama seperti saya."
Raka tahu ini adalah salah satu trik terakhir yang sering digunakan dalam situasi seperti ini. Saat terpojok, Pak Agus berusaha menyeret orang lain agar beban tanggung jawabnya tampak lebih ringan. Tapi Raka tidak terganggu oleh pernyataan itu. Ia tahu, meskipun banyak yang terlibat, Pak Agus tetaplah salah satu otak di balik skema besar ini.
"Kami sudah tahu itu," jawab Raka. "Dan mereka semua akan kami panggil. Tapi, malam ini bukan tentang mereka. Malam ini tentang Anda. Apa Anda mengakui peran Anda dalam kasus korupsi ini?"
Pak Agus terdiam. Wajahnya kini penuh dengan dilema. Di satu sisi, ia sadar tak ada lagi jalan untuk mengelak, tapi di sisi lain, egonya sebagai pejabat tinggi yang selama bertahun-tahun merasa tak tersentuh, masih berusaha bertahan. Untuk sesaat, tampak seolah-olah ia ingin menolak. Namun, tubuhnya sudah menyerah sebelum pikirannya bisa memutuskan.
"Ya," jawab Pak Agus akhirnya, suaranya bergetar. "Saya terlibat. Tapi... saya hanya mengikuti sistem. Orang-orang di atas saya... mereka juga bermain dalam permainan ini."
Raka menatapnya tanpa berkedip. Jawaban ini, meski tidak sepenuhnya mengelak, masih penuh dengan usaha untuk menggeser tanggung jawab. Sebagai seorang penyidik yang berpengalaman, Raka tahu bahwa ini adalah langkah umum dari para tersangka yang ingin menyelamatkan dirinya dari hukuman yang lebih berat.
Pak Agus kemudian mulai bercerita, bukan untuk mengakui sepenuhnya kesalahannya, melainkan untuk membangun narasi bahwa dirinya hanya bagian kecil dari skema besar. Dia mulai menyebut nama-nama, beberapa pejabat tinggi, pengusaha berpengaruh, bahkan beberapa rekan kerjanya sendiri yang menurutnya lebih banyak diuntungkan oleh praktik korupsi ini. Wajah Pak Agus kini berubah—dari ketakutan menjadi frustrasi, dan akhirnya, menjadi ekspresi putus asa.
"Semua ini dimulai bertahun-tahun yang lalu," kata Pak Agus, suaranya pelan namun sarat dengan keputusasaan. "Saya tidak punya pilihan lain. Jika saya tidak ikut, karir saya akan hancur. Mereka akan menyingkirkan saya."
Raka mendengarkan dengan seksama, tapi dalam benaknya, ia sudah tahu bahwa cerita yang disampaikan Pak Agus hanyalah versi lain dari narasi defensif. Ini bukan soal dipaksa atau tak punya pilihan. Setiap tindakan yang dilakukan Pak Agus adalah keputusan yang ia ambil sendiri—keputusan untuk menambah kekayaannya, untuk mempertahankan kekuasaan, dan untuk menipu sistem yang seharusnya ia jaga.
Setelah beberapa menit bercerita, Pak Agus akhirnya terdiam. Suasana ruangan kembali sunyi. Detik-detik jarum jam terdengar lebih jelas saat ketegangan perlahan menguap. Pak Agus kini tampak kelelahan, baik secara fisik maupun mental. Bahasa tubuhnya, yang tadinya masih mencoba mempertahankan posisi dominan, kini benar-benar menyerah. Bahu yang merosot, pandangan mata yang kosong, dan napas yang terdengar berat, menunjukkan bahwa perlawanan terakhirnya telah kandas.
"Baiklah," kata Raka setelah beberapa saat. "Saya pikir itu cukup."
Raka memberi isyarat kepada petugas yang berdiri di pojok ruangan. Dua orang polisi berpakaian sipil segera menghampiri Pak Agus, memasangkan borgol di tangannya. Saat borgol itu terpasang, Pak Agus menatap kedua tangannya yang kini terkunci. Ini adalah pertama kalinya ia merasakan apa yang selama ini ia hindari—penangkapan.
Pak Agus tidak berkata apa-apa saat ia digiring keluar dari ruangan. Langkahnya berat, seperti seseorang yang berjalan menuju akhir yang tak terhindarkan. Sebelum pintu tertutup, ia sempat menoleh ke arah Raka, tatapannya penuh dengan penyesalan yang mendalam. Bukan penyesalan atas tindakan korupsinya, tapi lebih kepada penyesalan bahwa ia tertangkap.
Raka menghela napas panjang setelah pintu tertutup. Ia tahu bahwa kasus ini masih jauh dari selesai. Masih banyak orang yang harus diselidiki, masih banyak bagian dari skema ini yang belum terungkap. Namun, dengan penangkapan Pak Agus, satu bagian besar dari puzzle korupsi ini sudah terkuak.
Malam itu, meskipun kemenangan kecil telah diraih, Raka sadar bahwa ini hanyalah awal dari perang panjang melawan korupsi di sistem pemerintahan yang rapuh. Pak Agus hanyalah satu dari banyak orang yang terlibat, dan masih ada jaringan yang lebih besar yang harus dihancurkan.
Namun, Raka tidak akan berhenti di sini. Baginya, setiap langkah menuju kebenaran, sekecil apapun, adalah kemenangan. Dan malam itu, penangkapan Pak Agus adalah langkah penting menuju tujuan yang lebih besar.
*************
Pindah ke bab selanjutnya.