Penghancuran
di Ruang Interogasi
“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”
Penghancuran di Ruang Interogasi
Bab 18: Bukti Terakhir
Raka memasuki ruang interogasi dengan penuh keyakinan, menggenggam sebuah folder tebal berisi dokumen-dokumen yang selama berminggu-minggu telah menjadi bagian dari penyelidikan intensif timnya. Hari ini bukanlah sesi interogasi yang biasa—hari ini adalah momen di mana semua potongan puzzle yang berserakan akan disatukan. Raka tahu betul, bukti terakhir yang ia bawa akan menjadi senjata pamungkas yang mengakhiri permainan licik Pak Agus.
Di depan meja interogasi, Pak Agus masih duduk dengan tatapan tenang dan ekspresi dingin, mencoba memproyeksikan citra ketenangan. Namun, Raka sudah mengenal betul taktik semacam ini. Di balik ketenangan yang dipaksakan, ada ketegangan yang mulai menyusup ke dalam tubuh Pak Agus—dari cara jemarinya sedikit gemetar ketika menggenggam pena hingga keringat halus yang mulai muncul di dahinya.
"Selamat siang, Pak Agus," Raka membuka percakapan dengan nada ramah namun tegas.
Pak Agus sekilas tersenyum, seolah-olah semuanya masih di bawah kendalinya. "Selamat siang, Pak Raka. Saya harap ini akan menjadi sesi yang produktif," jawabnya dengan suara yang tetap kuat.
Raka duduk dan meletakkan folder tebal di atas meja, membuat suara "thud" yang cukup berat, sengaja untuk menimbulkan kesan intimidasi. Ia tidak langsung membuka folder itu. Sebaliknya, ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap langsung ke mata Pak Agus, memberikan jeda panjang yang membuat suasana menjadi semakin tegang.
"Saya harap begitu," balas Raka akhirnya, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Hari ini saya ingin membahas beberapa temuan baru dari investigasi kami."
Pak Agus menegakkan tubuh, tatapannya tetap tajam. Ia tidak tahu apa yang akan datang, namun jelas bahwa ia sedang bersiap untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sulit.
Raka perlahan membuka folder, seolah-olah ia tahu bahwa setiap detik penundaan hanya akan meningkatkan kecemasan di dalam diri Pak Agus. Hal ini bukan tanpa alasan—Raka telah mempelajari setiap bahasa tubuh kecil, setiap mikroekspresi yang ditunjukkan oleh Pak Agus sejak interogasi pertama. Dan hari ini, ia berharap untuk melihat reaksi yang lebih dalam.
"Kami telah menemukan beberapa dokumen tambahan," ujar Raka dengan suara santai. "Dokumen yang, sejujurnya, cukup mengagetkan."
Ia meletakkan satu halaman di atas meja, namun tidak langsung mendorongnya ke arah Pak Agus. Sebaliknya, ia hanya menunjukkannya, cukup dekat sehingga Pak Agus bisa melihat isinya tapi tidak cukup jelas untuk membacanya secara menyeluruh.
Sekilas tatapan Pak Agus beralih pada halaman tersebut, dan Raka dengan cepat menangkap momen itu—mata Pak Agus sedikit melebar, alisnya terangkat tipis, dan rahangnya sedikit mengencang. Itu adalah mikroekspresi yang sangat singkat, hanya sepersekian detik, tetapi cukup bagi Raka untuk menangkap bahwa apa pun yang ada di halaman tersebut telah menyentuh sesuatu yang sangat sensitif.
"Kami menemukan ini," Raka melanjutkan, "dokumen yang menunjukkan aliran dana dari beberapa proyek tambang yang melibatkan jaringan yang lebih luas daripada yang sebelumnya kami duga."
Pak Agus tidak menanggapi langsung, memilih untuk tetap diam dan mempertahankan wajahnya yang tanpa ekspresi. Namun, Raka tahu lebih baik—keheningan semacam ini adalah cara klasik bagi orang yang sedang terpojok untuk mengulur waktu, mencoba mengendalikan pikirannya, dan mencari celah untuk melawan.
Raka mulai membalik halaman demi halaman, memperlihatkan lebih banyak bukti yang sudah disusun rapi, dari komunikasi antara perusahaan tambang, pejabat pemerintah, hingga transaksi keuangan yang mencurigakan. Setiap kali ia menambahkan bukti baru, Raka memperhatikan dengan seksama bagaimana bahasa tubuh Pak Agus perlahan berubah. Wajah yang tadi tegar kini mulai menunjukkan ketegangan. Ia melirik jam tangannya beberapa kali, tanda bahwa ia merasa semakin tidak nyaman berada di ruangan itu.
"Dan yang menarik," kata Raka, "dalam dokumen ini, ada beberapa nama yang secara konsisten muncul dalam jaringan ini. Termasuk, nama Bapak sendiri."
Pak Agus menatap Raka, kali ini dengan sedikit kemarahan di matanya. "Saya yakin, ada kesalahpahaman di sini. Saya tidak pernah terlibat dalam hal-hal seperti itu. Nama saya pasti digunakan tanpa sepengetahuan saya."
Raka mengangguk kecil, menandakan bahwa ia mendengarkan, namun tidak tergoyahkan oleh penjelasan yang terdengar seperti dalih itu. "Mungkin saja. Tapi ada satu hal yang ingin saya tanyakan, Pak Agus," lanjutnya, sambil membuka halaman lain yang berisi daftar komunikasi antara Pak Agus dan seorang pengusaha tambang terkemuka, Ridwan.
"Komunikasi Anda dengan Ridwan ini sangat sering. Terlalu sering untuk seseorang yang katanya tidak tahu-menahu soal korupsi," ujar Raka sambil menyodorkan bukti itu ke arah Pak Agus.
Pak Agus menelan ludah, meski berusaha menyembunyikan reaksi itu. Ia membaca sekilas halaman tersebut, lalu mencoba memasang ekspresi tenang. "Ridwan adalah rekan bisnis lama. Kami sering bertukar pikiran tentang berbagai hal, termasuk proyek-proyek yang sedang berjalan. Tapi tidak ada yang ilegal di sini."
Raka mendengarkan dengan seksama, tetapi ia tahu ada sesuatu yang lebih. Pak Agus terlalu defensif, dan itu hanya membuatnya semakin curiga.
Raka lalu mengeluarkan kartu terakhirnya. Ia mengeluarkan rekaman percakapan antara Bu Nita dan Ridwan yang telah lama menjadi bagian dari bukti rahasia yang belum dipublikasikan. Rekaman ini jelas menunjukkan bahwa Pak Agus berada dalam jaringan itu. Momen ini adalah titik balik yang ditunggu-tunggu.
"Saya ingin Bapak mendengarkan ini," kata Raka sambil menekan tombol play pada rekaman.
Suara Bu Nita dan Ridwan terdengar jelas di ruangan itu. Percakapan mereka menggambarkan kesepakatan-kesepakatan gelap yang mereka buat, dan di beberapa bagian, nama Pak Agus muncul dengan jelas sebagai salah satu pihak yang memberikan lampu hijau untuk proyek-proyek yang didukung oleh uang sogokan.
Raka menatap Pak Agus. Untuk pertama kalinya, Raka melihat sesuatu yang dia tunggu-tunggu—mata Pak Agus melebar, meski hanya untuk sepersekian detik. Rahangnya mengeras, dan untuk pertama kalinya, Pak Agus tampak benar-benar terkejut. Ini adalah reaksi mikroekspresi yang selama ini Raka harapkan.
Pak Agus berusaha untuk tetap tenang, namun itu sia-sia. Semua kendali yang ia pegang selama ini mulai berantakan. Tangannya mulai gemetar saat mencoba merapikan dokumen yang ada di depannya.
"Rekaman ini hanya sebagian kecil dari yang kami miliki, Pak Agus," kata Raka, menutup percakapan dengan suara yang tenang tapi penuh ancaman terselubung. "Kami masih memiliki banyak bukti lain yang belum kami tunjukkan."
Pak Agus terdiam, menundukkan kepala sedikit, seperti orang yang berusaha keras untuk berpikir cepat dan menyusun strategi baru. Namun Raka tahu, saat ini Pak Agus sudah berada di ujung tanduk.
"Kami tidak perlu terburu-buru," lanjut Raka sambil merapikan dokumen-dokumen di mejanya. "Ini baru permulaan, Pak Agus. Saya hanya ingin memastikan Bapak memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan langkah selanjutnya."
Suasana di dalam ruangan itu terasa semakin berat. Pak Agus tidak lagi terlihat seperti sosok yang dominan dan penuh percaya diri seperti di awal interogasi. Ia kini hanya duduk diam, merenung dengan tatapan yang hampa, seolah menyadari bahwa ia telah kalah dalam permainan ini.
Raka tahu, hari ini adalah kemenangan besar baginya dan tim penyidik. Namun, ia juga sadar bahwa ini baru awal dari akhir. Ada banyak pihak yang terlibat, dan ini akan menjadi penyelidikan yang lebih panjang dan lebih dalam. Tapi satu hal yang pasti, Pak Agus kini tak lagi bisa menyembunyikan keterlibatannya.
Dengan senyum kecil di wajahnya, Raka berdiri dan meninggalkan ruangan, membiarkan Pak Agus bergulat dengan pikirannya sendiri.
Di luar, tim penyidik sudah siap dengan langkah-langkah berikutnya. Raka tahu, dari sini kasus ini akan segera meledak ke permukaan, dan mereka hanya tinggal menunggu reaksi dari pihak-pihak yang merasa terganggu dengan pengungkapan ini.
Namun satu hal yang pasti: Pak Agus sudah berada di ujung jalan, dan tidak ada lagi yang bisa menyelamatkannya dari kebenaran yang akan segera terungkap.
*************
Pindah ke bab selanjutnya.