Penghancuran
di Ruang Interogasi

“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”

Penghancuran di Ruang Interogasi

Bab 17: Permainan Emosional Pak Agus

Ruangan interogasi terasa semakin berat, seolah setiap detik membawa Raka dan Pak Agus lebih dalam ke jurang permainan psikologis yang semakin intens. Pak Agus, yang sebelumnya tampak bertahan dengan strategi defensif dan pembelaan yang rapuh, kini mulai bergeser ke arah permainan emosi. Raka sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi. Ia pernah menghadapi tipe orang seperti Pak Agus—orang-orang yang terpojok dan berusaha menggunakan trik terakhir mereka untuk bertahan. Permainan emosi adalah kartu terakhir yang kerap dipakai ketika semua jalan lain terasa tertutup.

Pak Agus memutar kursinya, memandang ke arah jendela kecil di sudut ruangan. "Kalian semua salah paham," katanya dengan suara yang tiba-tiba lebih lembut, hampir seperti bisikan. "Aku tidak pernah berniat terlibat sejauh ini. Aku... aku hanya seorang korban. Korban dari permainan politik yang jauh lebih besar."

Raka duduk di depannya, tetap tenang. Ia sudah terbiasa dengan manipulasi semacam ini. Di hadapannya, Pak Agus mencoba memainkan peran korban, sebuah taktik yang sering dipakai oleh orang-orang yang berada di bawah tekanan. Ini adalah usaha terakhir untuk menarik simpati, menciptakan narasi di mana mereka terlihat tak berdaya, terjebak oleh situasi yang tak bisa mereka kendalikan.

"Pak Agus," Raka memulai dengan nada dingin dan penuh kendali, "semua orang dalam skandal seperti ini merasa seperti korban. Anda bukan orang pertama yang mencoba memainkan kartu ini, dan saya yakin Anda tahu bahwa saya tidak akan terpengaruh oleh drama ini."

Pak Agus tersentak. Matanya yang tadi menatap jendela kini beralih menatap Raka, meskipun tidak langsung—lebih seperti mencuri pandang, takut untuk bertemu dengan tatapan tajam penyidik di depannya. "Tapi ini kenyataannya!" katanya dengan suara yang tiba-tiba menjadi lebih tinggi, hampir seperti orang yang terdesak. "Kalian tidak mengerti apa yang terjadi di balik layar. Orang-orang di atas sana, mereka menggunakan kita! Menggunakan saya!"

Raka mendengarkan tanpa mengubah ekspresinya. Ia membiarkan Pak Agus terus berbicara, mencoba mencari celah. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Pak Agus, setiap jeda napas yang ia ambil, semakin memperjelas bahwa ia mulai kehilangan kendali. Pak Agus sekarang bermain dengan dua sisi: mencoba menegaskan dirinya sebagai korban politik, tetapi juga terdengar semakin terdesak untuk menghindari tanggung jawab.

“Siapa yang menggunakan Anda?” tanya Raka dengan nada yang datar. Pertanyaan ini bukan untuk mencari jawaban, tapi lebih untuk memberi ruang bagi Pak Agus untuk terus berbicara—untuk terus membuat kesalahan yang lebih besar. “Apakah Anda merasa dipaksa terlibat dalam proyek ini?”

Pak Agus mengusap wajahnya dengan tangan gemetar, berusaha menenangkan dirinya. Dia mulai bercerita dengan suara penuh emosi, mengangkat narasi dirinya sebagai alat yang dimanfaatkan oleh kepentingan yang lebih besar. "Ridwan... dia yang membujuk saya. Awalnya saya tidak tahu apa-apa tentang proyek tambang ini. Semua terlihat seperti proyek biasa, tidak ada yang mencurigakan. Tapi semakin saya terlibat, semakin jelas bahwa saya hanya pion. Mereka memanfaatkan posisi saya. Mereka tahu saya tidak bisa menolak."

Raka tetap tenang, meskipun di dalam dirinya, ia merasakan sedikit perubahan dalam dinamika. Pak Agus mulai kehilangan kendali emosionalnya. Nada suaranya berubah, kadang melambat dan lirih, kadang tiba-tiba melambung, seolah ia sedang mencari simpati yang putus asa. Namun, di mata Raka, ini hanyalah trik lain. Sebuah usaha yang sia-sia.

"Saya mengerti," kata Raka, membiarkan suaranya tetap tenang dan terkendali. "Tapi Anda tahu bahwa memainkan peran korban di sini tidak akan mengubah fakta bahwa Anda sudah terlibat dalam transaksi ilegal ini. Entah Anda dipaksa atau tidak, tindakan itu tetap melanggar hukum."

Pak Agus tampak semakin putus asa. Tatapannya kembali berpaling dari Raka, dan tangan yang tadinya diam di atas meja kini mulai mengetuk-ngetuk dengan gelisah. "Tapi saya tidak punya pilihan!" Pak Agus hampir berteriak. "Mereka mengancam saya! Mereka bilang kalau saya tidak ikut, mereka akan menghancurkan karir saya, menghancurkan keluarga saya. Anda harus memahami, Raka... Saya tidak punya jalan lain!"

Pada titik ini, Raka melihat Pak Agus mulai benar-benar kehilangan kendali atas emosinya. Nada suara yang awalnya penuh perhitungan kini berubah menjadi campuran ketakutan dan kemarahan. Raka tetap tenang, menjaga posisinya agar tidak terseret dalam permainan emosi Pak Agus. Ia tahu betul bahwa perasaan empati atau belas kasihan yang terlalu cepat bisa merusak strategi investigasi.

“Dan sekarang, Anda berpikir bahwa saya harus merasa kasihan pada Anda?” Raka menatapnya dengan tajam. “Bahwa karena Anda dipaksa, semua ini bisa dimaafkan begitu saja?”

Pak Agus terdiam, menundukkan kepalanya. Perlahan, rasa frustrasi dan ketakutan mengambil alih seluruh tubuhnya. Raka bisa melihat bagaimana pria di depannya ini mulai runtuh secara mental. Ia tahu ini adalah momen krusial—saat di mana seseorang yang merasa tak berdaya sering membuat keputusan impulsif yang bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

"Saya... Saya tidak tahu apa lagi yang harus saya katakan," gumam Pak Agus, suaranya hampir tak terdengar. "Semua ini... ini terlalu besar bagi saya. Saya tidak pernah membayangkan akan berakhir seperti ini."

Di dalam ruangan itu, hanya suara napas berat Pak Agus yang terdengar. Raka masih duduk dengan tenang, menunggu, membiarkan lawannya berkutat dengan pikirannya sendiri. Tekanan ini adalah bagian dari strategi Raka—membiarkan Pak Agus merasa seolah ia masih memegang kendali, padahal kenyataannya ia sudah terjebak dalam permainan yang diciptakan Raka.

“Pak Agus,” Raka akhirnya angkat bicara lagi, suaranya pelan namun penuh determinasi, “Anda bisa terus bermain sebagai korban, mencoba menarik simpati saya. Tapi fakta tetap fakta. Keterlibatan Anda sudah jelas. Pertanyaannya sekarang adalah: seberapa besar Anda ingin keluar dari masalah ini dengan kerusakan yang seminimal mungkin?”

Pak Agus mengangkat kepalanya perlahan, menatap Raka dengan mata yang memerah karena menahan stres. Untuk pertama kalinya dalam sesi interogasi ini, ia terlihat benar-benar kelelahan. Mungkin bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental. Kata-kata Raka mengena di titik lemah, membangkitkan kesadaran bahwa apa pun yang ia lakukan sekarang, tidak ada jalan keluar yang mudah. Permainan emosi yang ia harapkan bisa mengubah keadaan justru membuatnya semakin terjebak dalam situasi yang ia ciptakan sendiri.

"Saya tidak tahu... Saya benar-benar tidak tahu," gumam Pak Agus, suaranya kali ini hampir terdengar seperti orang yang menyerah. "Semua ini terlalu cepat, terlalu sulit. Saya tidak bisa mengendalikan semuanya. Saya hanya... saya hanya mengikuti apa yang diperintahkan."

Raka tetap tidak memberikan simpati. Ini bukan waktu untuk menunjukkan belas kasihan. “Anda masih punya kesempatan untuk membantu diri Anda sendiri, Pak Agus,” kata Raka, suaranya tenang namun penuh otoritas. “Tapi itu berarti Anda harus berhenti memainkan peran korban dan mulai bicara dengan jujur. Ceritakan kepada kami siapa yang terlibat, bagaimana semua ini diatur. Anda tahu apa yang kami butuhkan.”

Pak Agus tampak ragu. Bibirnya gemetar, dan Raka bisa melihat bahwa di balik semua kegelisahannya, ada bagian dari Pak Agus yang ingin berbicara—bagian dari dirinya yang mungkin merasa terlalu lelah untuk terus menahan kebenaran. Namun, Raka tahu bahwa keputusan ini bukanlah hal yang bisa dipaksakan. Pak Agus harus sampai pada kesimpulan itu sendiri.

Dengan hati-hati, Raka menekan tombol di interkom yang terhubung ke ruang sebelah. “Kami sudah selesai untuk hari ini,” katanya dengan tenang. "Beri Pak Agus waktu untuk merenung."

Raka berdiri, mengatur berkas-berkasnya. Sebelum ia meninggalkan ruangan, ia menatap Pak Agus sekali lagi. “Anda tahu apa yang harus dilakukan. Saya berharap saat kita bertemu lagi, Anda sudah siap bicara.”

Ketika Raka meninggalkan ruangan itu, ia tahu bahwa Pak Agus sudah hampir hancur. Permainan emosional ini memang berbahaya, tapi Raka yakin ia sudah mengendalikan situasi. Sekarang, tinggal menunggu apakah Pak Agus akan memilih jalan yang benar, atau justru membiarkan dirinya terjebak lebih dalam dalam kebohongan dan manipulasi yang ia ciptakan sendiri.


*************
Pindah ke bab selanjutnya.