Penghancuran
di Ruang Interogasi
“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”
Penghancuran di Ruang Interogasi
Bab 15: Kejutan dalam Mikroekspresi
Sesi interogasi itu berlangsung seperti biasa. Pak Agus duduk dengan postur tegak, tangannya dilipat di atas meja, memperlihatkan kesan percaya diri. Wajahnya tenang, bahkan senyum tipis sering terlihat di bibirnya seakan-akan ia menganggap seluruh proses ini hanyalah formalitas yang tak berujung pada apapun. Raka, di sisi lain, tak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Ketegangan di ruangan itu begitu nyata, meski hanya sedikit terlihat dalam dialog yang terukur dan teratur. Ini lebih seperti permainan catur antara dua pemain berpengalaman, di mana setiap gerakan dihitung dengan hati-hati.
Raka sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Ia tahu bahwa Pak Agus bukan lawan sembarangan, bukan orang yang akan panik dengan mudah. Dalam beberapa kali interaksi sebelumnya, Pak Agus selalu berhasil menjaga emosinya tetap stabil. Namun hari ini, Raka membawa senjata rahasia: rekaman percakapan antara Bu Nita dan Ridwan yang mengungkap lebih banyak dari yang terlihat di permukaan.
Raka memandang Pak Agus dengan tatapan tajam, lalu mulai berbicara dengan nada yang sangat biasa, seolah hanya bagian dari pertanyaan rutin.
"Pak Agus, apakah Anda tahu ada percakapan yang terekam antara Bu Nita dan Ridwan mengenai pengadaan proyek di bawah kementerian Anda?"
Sesaat, ruangan terasa hening. Mata Pak Agus tetap terfokus pada Raka, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Mikroekspresi yang hanya berlangsung sepersekian detik—matanya melebar sedikit, napasnya tertahan sejenak—semuanya tertangkap oleh Raka dengan sangat jelas. Itu momen krusial. Meskipun hanya berlangsung sangat singkat, Raka tahu dia telah menangkap sesuatu yang penting. Sebuah respons yang menunjukkan bahwa Pak Agus terkejut, mungkin bahkan ketakutan. Dan bagi seseorang seperti Pak Agus, itu adalah tanda bahwa ia mulai terpojok.
Raka melanjutkan kalimatnya, kali ini dengan nada yang sedikit lebih tajam, berharap untuk menggali lebih dalam.
"Rekaman itu cukup jelas, Pak. Bu Nita dan Ridwan membahas beberapa transaksi yang melibatkan proyek pengadaan... dan sepertinya ada indikasi bahwa ini bukan pertama kalinya. Mereka menyebutkan nama Anda, Pak."
Sekali lagi, Raka menangkap tanda yang sama—ketegangan halus yang tergambar di wajah Pak Agus. Meskipun pria itu mencoba menutupi kekagetannya, bahasa tubuhnya tak bisa menipu. Ada gerakan kecil di bahu kanannya, nyaris tak terlihat, dan tangannya yang tadinya terlipat dengan tenang mulai bergerak sedikit. Bagi seorang penyidik yang berpengalaman seperti Raka, semua ini seperti pesan tak tertulis yang menyiratkan kecemasan dan kegelisahan yang Pak Agus coba sembunyikan.
"Pak Raka, saya kira Anda sedang mengarang cerita di sini. Saya tak tahu apa-apa tentang rekaman itu. Bahkan jika rekaman itu ada, saya tidak pernah terlibat dalam pembicaraan semacam itu." Pak Agus mencoba menangkis dengan cara yang lebih agresif, menggunakan nada suaranya untuk menekan kembali, tetapi kali ini tidak berhasil. Raka melihat melalui topeng itu.
Pak Agus mulai kehilangan kendali. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti usaha untuk mempertahankan posisi, bukan karena ia yakin dengan apa yang dikatakannya, melainkan karena ia mulai takut jika semuanya terbongkar. Raka merasakan itu—sebuah insting yang muncul ketika seseorang yang sudah terpojok mulai mencari jalan keluar.
Raka mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, berusaha menekan lebih jauh. "Bu Nita sudah memberikan banyak informasi, Pak Agus. Dan Ridwan, well, dia juga bukan seseorang yang bisa Anda percayai sepenuhnya. Saya yakin Anda tahu itu. Kita tahu ada lebih dari sekadar proyek yang sedang dibicarakan. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Anda akan berbicara, atau apakah kami harus mendengarkan rekaman itu bersama-sama?"
Untuk pertama kalinya, wajah Pak Agus mulai menunjukkan perubahan nyata. Kali ini bukan hanya mikroekspresi yang samar. Rahangnya menegang, dan aliran keringat kecil mulai terlihat di dahi. Dia mencoba menjaga ketenangannya, tetapi jelas bahwa Raka telah menemukan titik lemahnya. Ancaman tentang rekaman itu, meskipun Raka belum memutarnya, sudah cukup untuk mematahkan pertahanan Pak Agus.
"Anda tidak bisa menyudutkan saya hanya dengan omongan, Raka," kata Pak Agus, kali ini suaranya terdengar lebih datar, hampir seperti ancaman. "Orang-orang di luar sana mendukung saya. Anda tahu, bukan? Bahkan jika Anda punya rekaman, itu tidak akan cukup. Ada banyak orang yang akan berdiri di belakang saya."
Raka tersenyum tipis. "Saya tidak butuh banyak, Pak Agus. Hanya satu kesalahan dari Anda, dan rekaman ini sudah lebih dari cukup."
Momen itu adalah puncak dari permainan psikologis antara mereka. Pak Agus, yang selama ini dikenal sebagai sosok tak tergoyahkan, akhirnya menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mungkin sudah kehilangan kendali. Mikroekspresi yang tertangkap di awal tadi hanyalah awal. Ketika Raka mulai menekannya lebih jauh, pertahanan yang dibangun Pak Agus selama bertahun-tahun mulai runtuh.
Namun, Pak Agus masih berusaha mempertahankan diri. Ia memalingkan wajahnya sejenak, mungkin mencoba mencari jalan keluar lain dalam pikirannya. Tapi Raka sudah membaca permainan ini. Dia tahu bahwa Pak Agus tidak akan bisa mengelak lebih lama lagi.
"Pak Agus," kata Raka, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun penuh tekanan. "Saya paham posisi Anda. Saya tahu bahwa Anda mungkin merasa terjebak, dan orang-orang di sekitar Anda tidak semuanya dapat dipercaya. Tapi ini kesempatan Anda untuk bersuara sebelum semuanya terungkap."
Pak Agus diam. Jarinya bergerak pelan di atas meja, tanda bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. Detik-detik itu terasa lambat, tetapi dalam keheningan itu, Raka tahu bahwa dia telah mencapai titik balik. Pak Agus mungkin tidak akan langsung berbicara, tetapi Raka yakin, pertahanan pria itu sudah goyah.
Di luar ruangan interogasi, suasana terasa mencekam. Para penyidik lain yang mengamati dari balik kaca tak bisa menutupi rasa tegang mereka. Mereka tahu bahwa momen ini krusial. Jika Raka berhasil mematahkan perlawanan Pak Agus, ini akan menjadi kunci untuk membongkar skandal yang jauh lebih besar.
Di dalam, Raka tetap tenang. Ia tahu bahwa tekanan ini belum berakhir, tetapi dia sudah mendapatkan petunjuk yang ia butuhkan. Mikroekspresi Pak Agus, yang di awal terlihat sangat singkat, telah membukakan pintu baru dalam penyelidikan ini. Ada sesuatu yang lebih besar di balik nama-nama yang terlibat—dan Raka bertekad untuk mengungkap semuanya.
Pak Agus masih belum bersuara, tetapi Raka tahu waktu yang dibutuhkan hanya sedikit lagi. Kini, permainan psikologis ini mulai berpihak padanya.
*************
Pindah ke bab selanjutnya.