Penghancuran
di Ruang Interogasi

“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”

Penghancuran di Ruang Interogasi

Bab 14: Tekanan dan Dilema

Raka duduk diam di ruang kerjanya, menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu yang mulai terasa tak nyaman. Pikirannya berputar cepat, seperti roda gila yang sulit dikendalikan. Telepon berdering tadi pagi, dan suaranya masih terngiang di kepalanya.

"Raka, kita harus hentikan ini. Nama besar Pak Agus dan jaringannya terlalu kuat. Kau tahu sendiri siapa saja yang terlibat. Ini bukan soal benar atau salah lagi, ini soal bertahan hidup."

Kata-kata itu keluar dari mulut atasannya sendiri, Pak Darman. Raka menghela napas berat, lalu memejamkan matanya. Di balik kekarismanya sebagai penyidik senior, Raka tidak kebal terhadap tekanan. Kali ini tekanannya datang dari arah yang tidak ia duga: dari institusi yang seharusnya berdiri teguh di sisi hukum dan kebenaran.

Waktu seakan-akan melambat ketika Raka meresapi kembali kata-kata itu. Pak Agus memang bukan sosok biasa. Jejak langkahnya dalam dunia politik dan bisnis sudah seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Orang-orang seperti Pak Agus bergerak dalam kegelapan, menggunakan tangan-tangan tak terlihat untuk menjaga posisi dan kekuasaan mereka.

Tekanan itu semakin kuat terasa setelah panggilan dari Pak Darman berakhir. Sinyal yang jelas bahwa kasus ini harus dihentikan segera, dengan alasan stabilitas. Tapi di balik kata-kata halus itu, Raka tahu betul artinya: jika dia terus melanjutkan penyelidikan ini, dia tidak hanya mempertaruhkan kariernya—dia mempertaruhkan kehidupannya. Dalam beberapa kasus sebelumnya, dia tahu betul bahwa jika melawan orang yang berkuasa, balasan bisa datang dari berbagai arah, dengan cara yang tak terduga.

Raka mengingat kembali percakapan dengan Pak Darman yang diawali dengan formalitas biasa. Namun, saat diskusi mulai menyentuh nama-nama besar, perubahan nada terjadi. Pak Darman mulai terdengar lebih hati-hati, bahkan penuh rasa khawatir.

“Kau tahu, Raka, ini bukan sekadar interogasi biasa. Ada tekanan politik yang kita harus perhitungkan,” suara Pak Darman mulai bergetar, menunjukkan betapa gentingnya situasi ini.

“Tekanan politik, Pak? Jadi kita membiarkan korupsi terus berjalan?” Raka membalas, tanpa mempedulikan nada suara yang cenderung memberontak. Baginya, hukum seharusnya bersifat absolut. Siapa pun yang terlibat dalam pelanggaran hukum, apakah dia pejabat rendah atau pejabat tinggi, harus diperlakukan sama.

Pak Darman hanya diam sesaat, lalu melanjutkan, “Ini lebih rumit dari yang kau bayangkan. Ada orang-orang yang harus kita jaga kehormatannya.”

Raka menggelengkan kepala. "Kehormatan yang didasarkan pada korupsi dan kebohongan, Pak?"

Flashback:

Raka teringat beberapa tahun yang lalu, kasus pertama yang menempatkannya dalam situasi serupa. Kala itu, dia baru saja dipromosikan menjadi penyidik senior. Kasus korupsi besar melibatkan seorang bupati yang dikenal luas di daerahnya karena reputasi ‘bersih’. Namun, di balik layar, ada skandal korupsi dalam pengadaan barang dan jasa yang membuat Raka merasa geram.

Pada saat itu, tekanan juga datang dari berbagai arah. Seorang politisi berpengaruh meminta Raka untuk “memperlambat” proses penyidikan, memberikan alasan bahwa bupati tersebut adalah sosok yang terlalu penting bagi stabilitas daerah. Namun, meskipun ancaman dan intimidasi terus berdatangan, Raka tetap pada pendiriannya: ia tidak akan membiarkan hukum dikendalikan oleh kekuasaan.

Kasus itu memang akhirnya berhasil diungkap, namun Raka membayar mahal. Ia hampir kehilangan kariernya. Beberapa atasan yang tak senang dengan keputusannya untuk tetap melanjutkan penyelidikan mulai meminggirkannya. Rekan-rekan yang sebelumnya dekat dengannya mulai menjaga jarak, seolah-olah ia adalah ancaman bagi keselamatan karier mereka. Namun, Raka tetap memilih jalan itu. Integritasnya adalah yang paling penting, lebih dari sekadar jabatan atau popularitas.

Kembali ke saat ini, dilema itu kembali menghantamnya dengan keras. Namun, kali ini jauh lebih besar.

Kembali ke ruang interogasi beberapa hari yang lalu, saat nama Pak Agus pertama kali disebutkan. Dari ekspresi wajah Pak Agus yang sulit ditebak, Raka tahu bahwa pria itu bukan orang yang mudah dihadapi. Di luar ruang interogasi, nama Pak Agus dihormati dengan penuh takzim. Dia dikenal sebagai pejabat yang tidak hanya cerdas, tetapi juga penuh karisma. Banyak pejabat di kementerian lain yang takut kepadanya.

Namun, di dalam ruang interogasi, ketika Raka mulai memperlihatkan bukti-bukti yang ia kumpulkan—dokumen palsu, tanda tangan palsu, dan manipulasi data—wajah Pak Agus mulai menunjukkan tanda-tanda kecil ketegangan. Mikroekspresi yang ditangkap Raka dengan penuh kewaspadaan semakin meyakinkannya bahwa Pak Agus terlibat dalam skema ini.

Namun, betapapun kuatnya bukti yang dia miliki, tekanan dari atasannya kini membuat semua itu terasa goyah. Raka bisa saja mengabaikan tekanan ini dan melanjutkan penyelidikan. Tapi dia tahu konsekuensinya. Kekuatan politik di balik Pak Agus terlalu besar untuk diabaikan.

Malam itu, Raka duduk sendiri di mejanya, memandangi berkas-berkas penyelidikan yang terbuka. Di satu sisi, ada tumpukan bukti yang sangat kuat, cukup untuk menjatuhkan Pak Agus dan para kolaboratornya. Di sisi lain, ada ancaman yang semakin nyata. Tak hanya ancaman dari atasannya, tetapi juga ancaman yang lebih berbahaya—ancaman dari orang-orang di luar sistem yang bisa menghancurkan hidupnya.

Di tengah semua itu, ada rasa lelah yang mulai menggerogoti dirinya. Tekanan dan dilema ini semakin membuat pikirannya terbagi. Apakah yang benar selalu harus dilakukan, meski itu bisa menghancurkan semuanya? Atau terkadang menyerah adalah pilihan yang lebih bijaksana?

Raka bangkit dari kursinya, berjalan ke jendela dan menatap keluar ke kota yang gemerlap di malam hari. Di balik kilau lampu-lampu gedung tinggi, ia tahu ada banyak permainan kekuasaan yang tersembunyi. Orang-orang yang tampaknya bersih dan berwibawa di luar, sering kali adalah aktor-aktor yang berperan di belakang layar, mengendalikan kekuatan dengan cara yang kotor.

Malam semakin larut, dan Raka masih terjebak dalam pikirannya sendiri. Pilihan untuk menghentikan penyelidikan terasa semakin dekat. Tapi di sudut lain hatinya, ia tahu bahwa menyerah berarti mengkhianati segala prinsip yang dia pegang selama ini. Flashback momen-momen penting dalam kariernya terus berputar di benaknya. Setiap kali ia dihadapkan pada dilema seperti ini, ia selalu memilih kebenaran, meski itu berarti harus menghadapi banyak risiko.

Keesokan harinya, Raka kembali ke kantornya dengan wajah yang lebih tegas. Setelah menghabiskan malam yang panjang memikirkan langkah berikutnya, ia tahu apa yang harus dia lakukan. Dalam hidupnya, ada banyak hal yang bisa dia korbankan—jabatan, reputasi, bahkan kenyamanan. Namun, ada satu hal yang tak akan pernah ia korbankan: integritasnya.

Raka berjalan menuju ruang penyelidikan, membawa setumpuk dokumen penting. Ia tahu bahwa setelah ini, mungkin akan ada lebih banyak tekanan yang menghampirinya. Mungkin bahkan akan ada ancaman terhadap hidupnya. Namun, satu hal yang pasti, dia tidak akan mundur.

Panggilan terakhir datang dari ponsel di saku jasnya. Nama Pak Darman muncul di layar, tapi Raka hanya menatapnya tanpa berniat mengangkat. Dia tahu apa yang akan dikatakan atasannya itu—desakan untuk menyerah, untuk mengakhiri penyelidikan.

Tapi bagi Raka, kasus ini belum selesai.


*************
Pindah ke bab selanjutnya.