Penghancuran
di Ruang Interogasi
“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”
Baca Novel Penghancuran di Ruang Interogasi
Bab 13: Perlawanan Terakhir Pak Agus
Raka duduk tegak di kursinya, pandangannya tak pernah lepas dari Pak Agus yang duduk di seberangnya. Pak Agus, seorang pejabat tinggi yang selama ini dikenal memiliki pengaruh besar, tampak berbeda kali ini. Meski mencoba mempertahankan postur tubuh yang tenang, ada ketegangan yang mulai terlihat. Wajahnya kaku, otot rahangnya mengencang setiap kali Raka mengajukan pertanyaan. Sudah jelas, interogasi ini tak akan berakhir dengan mudah.
Pak Agus menghela napas panjang sebelum akhirnya memulai serangan balik. Nada suaranya naik, lebih tegas dari sebelumnya. "Saya tidak mengerti mengapa Anda terus-menerus menggali hal-hal yang tidak relevan, Saudara Raka. Anda hanya membuang waktu. Apakah Anda sadar siapa yang Anda hadapi di sini?"
Sebuah senyuman kecil muncul di sudut bibir Raka. Ia sudah sering menghadapi momen seperti ini—saat tersangka merasa terpojok, mereka mulai menyerang balik, berharap bisa meruntuhkan integritas penyelidik. Tapi ia sudah siap. "Saya tahu persis siapa yang saya hadapi, Pak Agus. Itu sebabnya saya tak ingin terburu-buru. Kami harus memastikannya dengan baik. Bapak tentu paham betapa pentingnya kasus ini."
Nada halus Raka adalah senjata terbaiknya. Pak Agus memicingkan matanya. "Anda mungkin merasa memiliki kendali di sini, tapi Anda lupa bahwa saya punya banyak teman di tempat-tempat penting. Saya tahu betul permainan politik yang terjadi di balik penyelidikan ini."
Pak Agus berbicara cepat, kata-katanya keluar dengan nada agresif, seolah-olah ia sedang mencoba untuk mendominasi percakapan. Tetapi Raka, dengan kesabaran luar biasa, tetap tenang. Ia tahu ini adalah strategi klasik; tersangka seperti Pak Agus selalu berusaha membuat penyelidik kehilangan fokus dengan menggunakan otoritas mereka.
"Permainan politik?" Raka menoleh sedikit, seolah-olah mencoba mencerna pernyataan itu dengan serius, tetapi senyumnya masih terjaga. "Apakah itu alasan Bapak merasa tak perlu menjelaskan hubungan Bapak dengan Ridwan? Atau mungkin peran Bapak dalam memfasilitasi perizinan yang kita bicarakan?"
Untuk sesaat, Raka melihat jari-jari Pak Agus mulai bergerak cepat di atas meja, mengetuk permukaan kayu secara tak beraturan. Ketukan itu menjadi lebih intens setiap kali Raka menyebutkan nama Ridwan. Pak Agus berusaha menahan dirinya, tetapi gerakan-gerakan kecil seperti itu tak bisa disembunyikan dari mata seorang penyidik berpengalaman seperti Raka.
Pak Agus mendengus, suaranya lebih rendah kali ini, tapi masih sarat dengan nada defensif. "Anda hanya melihat sebagian kecil dari cerita ini. Ridwan bukanlah siapa-siapa tanpa dukungan orang-orang besar. Dan Anda tahu itu, Raka."
Raka mengangguk, mengesankan seolah-olah dia menerima argumen Pak Agus. Namun, dalam benaknya, ia terus mengumpulkan potongan-potongan kecil yang telah dia perhatikan selama interogasi. "Saya paham, Pak Agus, permainan ini lebih besar dari sekadar satu orang. Tapi, kita tidak bicara soal mereka sekarang. Kita bicara tentang peran Bapak."
Pak Agus tersenyum kecil, tetapi ada ketegangan di sana. "Peran saya? Saya hanya menjalankan tugas saya, seperti yang selalu saya lakukan selama bertahun-tahun. Bukan saya yang terlibat dalam pengurusan perizinan langsung, itu orang-orang di bawah saya."
"Itu menarik, Pak," jawab Raka sambil membuka dokumen di hadapannya, menunjuk sebuah tanda tangan yang sudah ia pelajari berulang kali. "Tapi tanda tangan ini, yang ada di dokumen perizinan tambang, jelas bukan dari orang lain. Ini tanda tangan Bapak. Apakah Bapak ingin menjelaskan bagaimana itu bisa terjadi?"
Ruangan sejenak hening. Pak Agus menatap tanda tangan itu dengan tatapan dingin. Mata Raka tajam mengamati mikroekspresi di wajah Pak Agus. Ada perubahan kecil di sudut bibirnya, nyaris tak terlihat, tetapi cukup bagi Raka untuk tahu bahwa ia sudah berhasil memukul titik lemah.
Pak Agus tertawa sinis, mencoba meremehkan temuan tersebut. "Oh, tanda tangan? Anda benar-benar berpikir itu masalah besar? Saya menandatangani puluhan dokumen setiap hari. Anda tidak bisa menyalahkan saya hanya karena ada tanda tangan saya di sana."
Raka tahu Pak Agus akan mencoba untuk memperkecil isu ini, tetapi ia juga tahu bahwa tanda tangan tersebut bukan sekadar formalitas. "Ini bukan sembarang dokumen, Pak. Ini dokumen yang mengesahkan perizinan tambang yang kita ketahui diurus dengan cara yang tidak benar. Dan itu bukan satu atau dua dokumen saja. Ada pola di sini."
Pak Agus tersenyum lagi, tetapi kali ini lebih dingin. "Pola? Apa yang Anda tahu tentang pola itu, Raka? Saya sudah berada di pemerintahan lebih lama dari umur Anda. Saya tahu betul cara sistem ini bekerja."
Mendengar pernyataan tersebut, Raka merasa perlawanan terakhir Pak Agus mulai mencapai puncaknya. Ia tak bisa lari lagi dari kenyataan bahwa setiap pertanyaan yang dilemparkan Raka semakin mengurungnya. Gerakan tangannya semakin tak terkontrol, napasnya mulai lebih cepat. Meskipun ia mencoba untuk menutupi kebohongan dengan bahasa otoritatif, tubuhnya berbicara lebih jujur daripada mulutnya.
Raka menatap Pak Agus lekat-lekat. "Saya menghormati pengalaman Bapak, Pak Agus. Tapi, pengalaman juga mengajarkan saya bahwa kebohongan kecil, jika dibiarkan, akan terus berkembang menjadi masalah besar."
Pak Agus menegakkan tubuhnya, nadanya lebih keras, nyaris meledak. "Kebohongan? Apa Anda menuduh saya berbohong di sini? Apakah Anda berani mengatakan bahwa penyelidikan Anda ini tidak dipolitisasi? Saya tahu siapa yang berada di balik semua ini!"
Raka diam, membiarkan kata-kata Pak Agus menggantung di udara. Ia tahu bahwa tersangka yang defensif sering kali akan melontarkan tuduhan balik seperti ini ketika merasa terpojok. Pak Agus berusaha menempatkan dirinya sebagai korban konspirasi, berharap bisa mengalihkan fokus penyelidikan.
"Ini bukan soal siapa yang di balik penyelidikan ini, Pak Agus," kata Raka akhirnya, suaranya rendah dan tenang, "ini tentang fakta-fakta yang tidak bisa diabaikan. Tanda tangan Bapak, dokumen yang salah, dan keputusan-keputusan yang diambil selama Bapak menjabat. Semua itu ada di sini, jelas dan terang."
Pak Agus tampak semakin gelisah. Senyumnya memudar, dan keringat mulai terlihat di dahinya. "Anda tidak tahu apa yang Anda hadapi, Raka," katanya dengan nada rendah tapi mengancam. "Ini lebih besar dari yang Anda kira."
Raka tahu ini adalah tanda bahwa Pak Agus merasa semakin terdesak. Serangan baliknya semakin keras, tetapi semakin tidak teratur. "Saya paham, Pak Agus. Tapi kita akan menemukan kebenaran, apapun risikonya."
Pak Agus diam, hanya menatap Raka dengan tatapan yang sulit dibaca. Namun, Raka sudah tahu bahwa perlawanan terakhir ini hanyalah cerminan dari keputusasaan yang mulai merayap masuk ke dalam hati Pak Agus. Tekanan psikologis yang dibangun selama interogasi ini telah mencapai puncaknya, dan Raka tahu, cepat atau lambat, Pak Agus akan jatuh ke dalam jebakan yang ia buat sendiri.
Interogasi ini belum selesai. Tapi Raka tahu, pada titik ini, ia sudah memenangkan duel psikologis tersebut.
*************
Pindah ke bab selanjutnya.