Penghancuran
di Ruang Interogasi

“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”

Baca Novel Penghancuran di Ruang Interogasi

Bab 12: Duel Psikologis

Raka duduk dengan tenang di kursinya, menghadapi Pak Agus yang sekarang mulai lebih sering memalingkan wajahnya, seakan mencari celah untuk keluar dari permainan ini. Seperti pemain catur yang terpojok, Pak Agus berusaha menjaga ketenangannya, tapi Raka tahu betul bahwa pria di depannya sedang berada dalam tekanan berat.

Dalam interogasi seperti ini, Raka selalu melihatnya sebagai sebuah duel psikologis. Setiap pertanyaan yang ia lontarkan adalah seperti gerakan pion atau kuda dalam catur, bertujuan untuk menutup ruang gerak lawannya. Pak Agus, yang sebelumnya tampil sebagai pejabat yang penuh percaya diri dan karisma, kini mulai terjebak dalam labirin pertanyaan yang semakin sulit untuk dielakkan.

Raka mengangkat satu dokumen baru. Kali ini, dokumen yang ia tunjukkan mengandung daftar transaksi bank antara perusahaan Ridwan dan beberapa pejabat di kementerian, termasuk nama Pak Agus yang tercantum sebagai penerima dana dalam salah satu transaksi mencurigakan.

"Pak Agus," kata Raka, suaranya rendah namun penuh penekanan, "Bapak tahu apa yang ada di sini, kan? Transaksi ini menghubungkan Bapak langsung dengan proyek Ridwan. Bukti bahwa Bapak menerima pembayaran dari pihak yang terlibat. Bagaimana Bapak menjelaskan ini?"

Pak Agus menatap dokumen itu dengan mata menyipit. Ia tidak segera menjawab, dan keheningan kembali menyelimuti ruangan. Raka tahu bahwa lawannya sedang menghitung langkah berikutnya, mencari celah dalam pertanyaan yang ia ajukan. Ini adalah salah satu tanda klasik dalam duel psikologis seperti ini—Pak Agus mencoba menyusun strategi, tapi setiap detik keheningan hanya mempertegas bahwa ia sedang terpojok.

Setelah beberapa saat, Pak Agus akhirnya berbicara, "Itu hanya kebetulan, Pak Raka. Pembayaran itu bukanlah pembayaran yang ilegal. Saya bahkan tidak tahu asal usulnya sampai sekarang. Dalam posisi saya, wajar jika ada pihak yang menyumbang atau memberikan dukungan untuk kegiatan sosial atau proyek-proyek lainnya. Saya tidak pernah terlibat dalam pengaturan apapun yang terkait dengan Ridwan."

Raka mendengarkan dengan seksama, memperhatikan setiap perubahan kecil dalam nada suara Pak Agus. Dalam setiap kata yang diucapkan Pak Agus, ada tanda-tanda kelelahan mental. Ia mencoba menjelaskan sesuatu yang jelas tidak bisa ia buktikan, dan ini membuat Raka semakin yakin bahwa lawannya sedang tersudut.

"Menarik, Pak Agus," ujar Raka sambil mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Jadi Bapak menganggap ini sumbangan? Tapi, bukti lain yang kami temukan menunjukkan bahwa uang itu berasal langsung dari rekening perusahaan Ridwan. Itu bukan sumbangan, Pak. Itu pembayaran langsung."

Pak Agus terdiam lagi, kali ini lebih lama. Raka tahu bahwa semakin lama interogasi berlangsung, semakin sulit bagi Pak Agus untuk menjaga alibinya tetap utuh. Seperti pemain catur yang menyadari rencana musuhnya lebih awal, Pak Agus mulai kehilangan kontrol atas permainannya sendiri. Dan itulah yang diharapkan Raka sejak awal—membiarkan Pak Agus merasa bahwa ia masih bisa memegang kendali, lalu perlahan mengambilnya kembali sedikit demi sedikit.

Raka membiarkan keheningan itu bertahan lebih lama kali ini. Ia sengaja membuat Pak Agus merasakan tekanan, membiarkannya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dalam duel psikologis seperti ini, terkadang senjata terkuat bukanlah pertanyaan yang tajam, melainkan jeda diam yang panjang. Lawan sering kali merasa terpaksa untuk mengisi kekosongan dengan informasi yang mereka tidak rencanakan untuk diberikan.

Akhirnya, Pak Agus membuka mulutnya kembali. Kali ini, suaranya lebih rendah, hampir seperti bergumam, "Saya... saya tidak tahu detailnya. Mungkin ada pihak lain yang terlibat tanpa sepengetahuan saya."

Raka menangkap celah itu—sebuah pengakuan terselubung bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, dan Pak Agus mulai kehabisan cara untuk menutupi semuanya. Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh Raka, saat di mana lawannya mulai retak dan menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuan untuk melanjutkan permainan dengan tenang.

"Begitu, Pak Agus?" tanya Raka, kali ini dengan nada lebih tegas. "Jadi Bapak mengakui bahwa ada hal yang Bapak tidak ketahui? Bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat di permukaan?"

Pak Agus menatap Raka, dan untuk pertama kalinya dalam interogasi ini, wajahnya menunjukkan tanda-tanda kekalahan. Otot di rahangnya tegang, dan ia mulai memainkan jarinya di atas meja, tanda-tanda jelas bahwa ia kehilangan kendali atas situasi ini.

"Saya... saya tidak bisa mengatakan dengan pasti," jawab Pak Agus akhirnya. "Tapi saya tidak pernah bermaksud terlibat dalam hal-hal yang ilegal."

Raka tahu bahwa ia sedang berada di ambang kemenangan. Pak Agus, yang pada awalnya datang dengan penuh kepercayaan diri dan sikap superior, kini mulai menyerah pada tekanan interogasi. Tapi Raka juga tahu bahwa ia harus berhati-hati. Orang seperti Pak Agus bisa berbalik kapan saja, mencoba kembali mengendalikan situasi dengan memainkan kartu yang belum ditunjukkan.

Raka menatap langsung ke mata Pak Agus, menantangnya untuk memberikan jawaban yang lebih jelas. "Pak Agus, ini bukan hanya tentang apa yang Bapak maksudkan. Ini tentang fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Bapak terlibat langsung dalam proyek yang penuh dengan penyimpangan. Bapak tidak bisa mengelak lagi."

Pak Agus tidak segera menjawab. Ia menundukkan kepalanya, tampak berpikir keras. Raka melihat perubahan pada posturnya—bahunya yang semula tegak kini mulai menurun, tanda bahwa ia semakin merasa terpojok. Ini adalah tanda yang sangat jelas bagi Raka bahwa interogasi ini sudah hampir mencapai puncaknya.

"Baiklah," kata Pak Agus akhirnya, suaranya terdengar berat. "Saya akan memberikan apa yang kalian inginkan. Tapi ingat, saya tidak akan menjadi satu-satunya yang jatuh. Banyak pihak yang terlibat dalam ini, dan saya tidak akan membiarkan diri saya dikorbankan sendirian."

Raka tersenyum tipis. Ini adalah hasil yang ia harapkan—Pak Agus kini bersedia untuk memberikan informasi lebih lanjut, tapi dengan satu syarat: ia tidak akan jatuh sendirian. Bagi Raka, ini adalah kesempatan emas untuk membuka tabir yang lebih besar. Pak Agus telah terjebak dalam strateginya sendiri, dan sekarang, ia hanya bisa berharap bahwa informasi yang ia berikan akan membantunya keluar dari situasi yang semakin sulit ini.

Namun, Raka tahu bahwa permainan ini belum selesai. Masih ada banyak yang harus diungkap, dan ia tidak bisa membiarkan Pak Agus mengendalikan arah selanjutnya. "Tentu, Pak Agus," jawab Raka dengan nada tenang namun penuh kendali. "Kami di sini untuk mencari kebenaran. Dan jika ada pihak lain yang terlibat, kami akan menemukan mereka. Tapi pertama-tama, kami butuh Bapak untuk berbicara."

Pak Agus mengangguk perlahan. Ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain lagi. Duel psikologis ini sudah hampir selesai, dan Raka telah memenangkannya dengan ketenangan, kesabaran, dan kemampuan membaca setiap gerakan kecil dari lawannya. Tapi bagi Raka, ini bukan akhir dari segalanya. Ini hanya langkah awal untuk membuka konspirasi yang lebih besar, dan ia siap untuk melangkah lebih jauh.

Dengan itu, Raka kembali ke posisinya, menyiapkan diri untuk babak baru dalam permainan ini—babak di mana kebenaran akhirnya akan terungkap, dan Pak Agus tidak bisa lagi bersembunyi di balik kekuasaannya.


*************
Pindah ke bab selanjutnya.