Penghancuran
di Ruang Interogasi
“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”
Baca Novel Penghancuran di Ruang Interogasi
Bab 11: Pak Agus dalam Interogasi
Raka duduk di ruang interogasi dengan suasana yang terasa berat. Ruangan itu sama seperti biasanya—dinding putih polos, suhu dingin, satu meja besi besar di tengah, dan kursi-kursi yang sering kali menjadi saksi bisu dari kebohongan-kebohongan yang perlahan terurai. Namun kali ini, yang akan memasuki ruangan bukanlah seorang saksi biasa. Kali ini, Raka akan berhadapan dengan Pak Agus, seorang pejabat tinggi di kementerian yang telah disebut-sebut oleh berbagai pihak dalam investigasi ini.
Pak Agus dikenal sebagai sosok yang licin—figur yang sudah bertahun-tahun menguasai posisi strategis dan tidak pernah tersentuh oleh hukum. Dalam dunia politik dan birokrasi, namanya adalah simbol kekuasaan, dan di balik layar, ia diduga terlibat dalam banyak skandal besar. Meski namanya baru muncul di kasus ini, Raka tahu bahwa dia sedang menghadapi seseorang yang bukan sembarangan.
Ketika pintu terbuka, Pak Agus memasuki ruangan dengan langkah tenang. Dia mengenakan setelan jas abu-abu yang terlihat rapi dan mahal, memberi kesan seorang profesional kelas atas. Rambutnya yang sudah beruban disisir rapi, dan senyum kecil yang menghiasi wajahnya terlihat seperti senyum orang yang sudah tahu segalanya. Ini bukan senyuman gugup atau ramah. Ini adalah senyum seseorang yang percaya dirinya ada di atas hukum.
Raka mempersilakan Pak Agus duduk di kursi berhadapan dengannya. Suasana hening, hanya suara kecil dari pergerakan kursi yang terdengar. Namun, ketegangan di ruangan itu mulai terasa. Di atas meja, beberapa berkas tebal tertata rapi—dokumen yang siap dipergunakan Raka sebagai senjata. Tapi, strategi kali ini berbeda. Ini bukan interogasi frontal. Pak Agus terlalu berpengalaman untuk dihadapi dengan cara seperti itu.
Raka menyesuaikan duduknya, mengubah sedikit posisinya agar terlihat lebih santai. “Terima kasih sudah datang, Pak Agus. Saya tahu Bapak pasti sibuk dengan berbagai urusan,” katanya dengan nada sopan namun tegas, memberikan ruang untuk Pak Agus memulai percakapan.
Pak Agus, tanpa mengubah ekspresi, tersenyum sedikit lebih lebar. “Tentu, tentu. Saya selalu siap membantu penyelidikan, Pak Raka. Apa yang bisa saya bantu hari ini?”
Nada suaranya penuh dengan kepercayaan diri, seperti orang yang yakin bahwa ia tidak bersalah atau bahwa posisinya terlalu kuat untuk disentuh. Raka mengenal nada ini—ini bukan kali pertama dia berhadapan dengan orang seperti Pak Agus. Tapi ada satu hal yang sering kali dilupakan orang-orang seperti ini: setiap orang punya titik lemah, dan tugas Raka adalah menemukannya.
“Ini hanya pemeriksaan rutin, Pak. Kami hanya ingin mengklarifikasi beberapa hal terkait proses perizinan tambang dan hubungan Bapak dengan beberapa pihak yang sudah kami wawancarai,” Raka berkata sambil membuka berkas di depannya. Dia sengaja menjaga nada bicara tetap netral. Ini adalah langkah pertama dalam strateginya: membuat Pak Agus merasa bahwa ini hanya formalitas belaka.
Pak Agus mengangguk pelan, memperlihatkan kesan bahwa dia sepenuhnya santai. “Tentu saja, saya akan dengan senang hati menjawab semua pertanyaan Anda,” ujarnya dengan tenang.
Raka mulai dengan pertanyaan-pertanyaan dasar, hampir seperti wawancara biasa. “Kami ingin memastikan bahwa Bapak memahami semua prosedur terkait AMDAL dan perizinan tambang ini. Bapak sebagai pejabat di kementerian tentu sangat paham, ya?”
Pak Agus tertawa kecil. “Ah, tentu saja. Itu sudah bagian dari pekerjaan saya selama bertahun-tahun. Saya hafal luar dalam soal itu.”
Raka mengangguk. Tentu saja, jawaban ini sudah ia duga. Ini belum waktunya untuk menyerang langsung. Sebaliknya, ia mulai menyusupkan pertanyaan-pertanyaan kecil yang tampak tidak penting, tetapi dirancang untuk menggali reaksi bawah sadar Pak Agus.
“Saat proses perizinan tambang yang disebutkan ini, Bapak pasti berhubungan dengan beberapa pejabat daerah, ya? Misalnya, Kepala Dinas Pertambangan di wilayah tersebut,” tanya Raka, kali ini memperhatikan setiap gerakan Pak Agus.
Sekilas, Pak Agus tidak menunjukkan banyak perubahan ekspresi, tapi Raka melihatnya. Ada sedikit ketegangan di sudut mata Pak Agus saat nama pejabat daerah disebutkan. Gerakan alisnya sedikit mengerut, sebuah mikroekspresi yang mungkin tidak disadari oleh Pak Agus sendiri. Reaksi itu berlangsung sekejap, tapi bagi Raka, itu cukup. Ia tahu bahwa ada sesuatu di sini.
Pak Agus menjawab dengan tenang, “Iya, tentu. Kami selalu berkoordinasi dengan pejabat daerah untuk memastikan semuanya sesuai aturan.”
Senyum tetap terjaga di bibir Pak Agus, tapi Raka tahu ada sesuatu yang lebih. “Dan apakah Bapak pernah mendengar nama Ridwan? Seorang pengusaha tambang yang terlibat di wilayah tersebut?”
Mendengar nama Ridwan, lagi-lagi ekspresi Pak Agus berubah, meski hanya sedikit. Raka menangkapnya—kedutan kecil di dahi dan sedikit ketegangan di bibir. Pak Agus mencoba mengendalikan emosinya, tapi Raka sudah tahu dia sedang berada di jalur yang benar. Pak Agus tampak lebih hati-hati dalam menjawab.
“Oh, Ridwan? Nama itu tidak asing. Mungkin saya pernah mendengar, tapi saya tidak begitu ingat secara detail,” jawab Pak Agus, kali ini lebih lambat dari sebelumnya.
Raka menahan senyumnya. Jawaban seperti ini sering kali berarti orang tersebut sedang mencoba menyembunyikan sesuatu. Perlahan tapi pasti, Raka terus menggiring Pak Agus dengan pertanyaan-pertanyaan yang makin menekan, tapi tetap terasa ringan di permukaan.
“Jadi, Bapak tidak ingat pernah bertemu langsung dengan Ridwan dalam proyek ini?”
Pak Agus tersenyum lagi, tapi kali ini senyumnya terasa lebih tegang. “Sejujurnya, saya tidak ingat. Kami menangani banyak sekali proyek, dan nama-nama seperti itu bisa mudah terlewat.”
Ini saatnya. Raka memutuskan untuk menekan sedikit lebih keras. “Menarik, Pak. Karena dalam beberapa dokumen kami, nama Bapak tercatat sebagai salah satu penandatangan persetujuan AMDAL untuk tambang yang dikelola oleh Ridwan. Bagaimana Bapak menjelaskan itu?”
Ruangan tiba-tiba menjadi lebih sunyi. Raka tahu ini momen penting. Pak Agus, yang selama ini tampak tenang dan percaya diri, tampak sedikit terguncang. Dia merapatkan bibirnya, menarik napas pelan, dan dalam sekejap, mengangguk.
“Ah, mungkin ada kekeliruan di situ. Bisa jadi itu hanya formalitas yang saya tanda tangani tanpa terlalu mendalami detailnya,” katanya. Kali ini, senyumnya menghilang.
Raka tahu, semakin Pak Agus memberikan jawaban yang samar, semakin jelas bahwa dia menyembunyikan sesuatu. Tapi ini belum waktunya untuk langsung menyerang. Dia masih harus bermain sedikit lebih lama, menjaga agar Pak Agus tetap merasa bahwa dia masih bisa mengontrol situasi.
“Memang formalitas, ya?” Raka mengangguk perlahan, seolah-olah menerima jawaban itu. “Baiklah, mungkin bisa kita lanjutkan ke dokumen-dokumen berikutnya.”
Raka mulai membalik halaman demi halaman dokumen di hadapannya, memperlihatkan satu demi satu bukti yang sudah ia kumpulkan. Sambil memperlihatkan dokumen itu, ia terus mengamati bahasa tubuh Pak Agus dengan saksama. Ia melihat bagaimana jari-jari Pak Agus mulai mengetuk meja secara berulang—tanda klasik kegelisahan. Pandangan matanya juga sesekali teralihkan ke arah lain, meski ia berusaha menjaga kontak mata dengan Raka.
“Bapak, saya menghargai kesediaan Anda untuk datang hari ini. Dan saya yakin kita semua di sini ingin menyelesaikan masalah ini secepat mungkin,” Raka berkata sambil tetap menjaga nada bicaranya yang tenang. “Tapi saya juga ingin memastikan bahwa semua yang ada di sini jelas dan tidak ada yang disembunyikan.”
Pak Agus menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Saya mengerti. Tapi saya tegaskan lagi, saya tidak pernah terlibat langsung dalam hal-hal ini. Mungkin ada kesalahan di dalam sistem.”
Raka menyipitkan matanya, sebuah ekspresi kecil yang sengaja ditunjukkannya untuk menguji respons Pak Agus. “Kesalahan dalam sistem? Atau ada yang memanipulasi sistem, Pak?”
Raka sengaja melontarkan pertanyaan itu dengan lembut, tapi ia tahu bahwa itu adalah pancingan yang efektif. Pak Agus tidak menjawab dengan segera. Ada keheningan sesaat, yang bagi Raka adalah tanda bahwa ia sudah mulai menembus pertahanan mental lawannya. Dan dari sini, interogasi baru benar-benar dimulai.
Raka menatap Pak Agus dengan pandangan yang tenang namun penuh tekanan. Dalam ruangan yang sepi itu, keheningan terasa berat, seperti udara yang menunggu untuk terpecah. Pak Agus menggeser tubuhnya di kursi, menahan napas sejenak sebelum mengembuskan napas panjang, seakan mencari celah untuk keluar dari jebakan yang mulai dipersempit oleh Raka.
"Manipulasi sistem? Saya rasa itu terlalu spekulatif, Pak Raka," ujar Pak Agus, sambil mengembalikan senyum tipisnya, meski kali ini tak sepenuhnya menutupi kegelisahan di matanya. "Seperti yang saya katakan, saya hanya mengikuti prosedur formal. Saya tidak bisa mengawasi semuanya."
Raka mengangguk perlahan, tetapi tidak menunjukkan tanda bahwa ia akan membiarkan Pak Agus lolos dengan jawaban itu. Ia tahu permainan ini, dan yang terpenting, ia tahu bahwa orang seperti Pak Agus terbiasa dengan kekuasaan—terbiasa merasa bahwa mereka bisa mengendalikan situasi. Yang belum disadari oleh Pak Agus adalah bahwa setiap manuver kecil, setiap ekspresi halus yang ia coba sembunyikan, justru memberikan petunjuk pada Raka.
Raka mengambil napas pendek sebelum melemparkan pertanyaan berikutnya, masih dengan nada netral, “Pak Agus, Bapak bilang tidak terlibat langsung, tetapi beberapa saksi yang sudah kami interogasi menyebutkan pertemuan antara Bapak dan Ridwan. Ada yang menyebut Bapak juga terlibat dalam pengurusan dokumen. Bapak ingat apa yang terjadi saat itu?”
Seketika, ekspresi Pak Agus sedikit mengerut. Ia berusaha tetap tenang, tapi Raka memperhatikan perubahan kecil itu—ketegangan di sudut bibirnya, kedutan di alisnya, serta jari-jarinya yang perlahan mengetuk meja, hampir tidak disadari oleh Pak Agus sendiri. Ini adalah tanda jelas bahwa pertanyaan Raka mulai menyentuh sesuatu yang penting.
"Saya tidak ingat adanya pertemuan khusus dengan Ridwan," jawab Pak Agus, kali ini suaranya lebih hati-hati. "Mungkin saya bertemu dengannya dalam acara formal atau rapat. Tapi semua yang saya lakukan adalah bagian dari tugas saya sebagai pejabat."
Raka menatap Pak Agus selama beberapa detik, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka. Ini adalah salah satu teknik yang sering digunakan Raka dalam interogasi—menggunakan jeda hening untuk membuat lawannya merasa tidak nyaman, memaksa mereka untuk mengisi kekosongan dengan informasi yang mungkin tidak mereka rencanakan untuk katakan.
Saat Pak Agus mulai tampak gelisah dengan keheningan itu, Raka mengeluarkan satu dokumen dari tumpukan berkas di depannya. Ia membuka halaman tersebut dengan tenang dan menggeser dokumen itu ke arah Pak Agus. Di sana tertulis jelas nama Pak Agus sebagai salah satu penandatanganan persetujuan AMDAL untuk proyek tambang Ridwan.
"Ini adalah dokumen yang menunjukkan Bapak terlibat langsung dalam persetujuan AMDAL proyek tambang yang dikelola Ridwan," ujar Raka, kali ini suaranya sedikit lebih tajam. "Bapak menandatanganinya. Apakah Bapak masih mengatakan tidak pernah terlibat langsung?"
Pak Agus menatap dokumen itu. Wajahnya tetap tenang di permukaan, tetapi Raka bisa melihat ketegangan yang mulai membangun di dalam diri pejabat ini. Pak Agus merapikan letak duduknya, seperti mencoba mempertahankan kontrol atas situasi, namun tatapan matanya yang mengarah ke dokumen itu menunjukkan bahwa ia mulai kesulitan mencari jalan keluar.
"Saya... tentu, saya ingat menandatangani dokumen-dokumen itu," kata Pak Agus akhirnya, suaranya terdengar lebih pelan. "Tapi, seperti yang saya bilang, ini semua adalah bagian dari prosedur. Saya tidak mengawasi setiap detailnya. Staf saya yang menangani, saya hanya memberikan persetujuan berdasarkan rekomendasi mereka."
Raka tersenyum tipis. Ini adalah jenis jawaban yang sering ia dengar dari pejabat tinggi—jawaban yang mencoba membelokkan tanggung jawab kepada orang lain. Tapi Raka tahu bahwa Pak Agus tidak bisa lolos dengan cara itu kali ini. Ada terlalu banyak bukti yang mengarah pada keterlibatannya, dan Raka harus memastikan bahwa ia terus mendesak sampai Pak Agus benar-benar kehabisan jalan.
"Tentu, Bapak pasti mengikuti prosedur yang sudah ada," kata Raka, suaranya tetap tenang. "Tapi yang menarik bagi kami, adalah bahwa dokumen-dokumen ini menunjukkan adanya banyak penyimpangan. Salah satu saksi bahkan menyebutkan bahwa beberapa dokumen palsu digunakan untuk memuluskan persetujuan ini. Apakah Bapak menyadari hal itu?"
Sekali lagi, Pak Agus tampak terguncang, meskipun hanya sebentar. Dia menelan ludahnya dengan susah payah sebelum menjawab. “Palsu? Tidak mungkin. Saya tidak pernah terlibat dalam hal seperti itu.”
Raka mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, memberikan sinyal bahwa ia tidak percaya sepenuhnya pada jawaban Pak Agus. “Tentu saja, mungkin Bapak tidak mengetahuinya secara langsung. Tapi saksi kami, termasuk Ridwan, mengindikasikan bahwa ada pengaturan khusus antara Bapak dan beberapa pejabat daerah untuk mempercepat proses ini. Itu cukup mengkhawatirkan.”
Pak Agus berusaha mempertahankan ketenangannya, tetapi sekarang ia mulai kehilangan kendali. Tangan kirinya mulai bergetar halus, dan matanya menyipit, memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia mulai merasa terpojok.
“Pak Raka,” kata Pak Agus, dengan suara yang lebih rendah namun mencoba tetap tenang, “saya sudah bertahun-tahun bekerja dalam birokrasi ini. Saya tahu bagaimana sistem bekerja. Saya tidak pernah terlibat dalam hal-hal seperti itu. Mungkin ada kesalahan, atau mungkin orang lain mencoba menjatuhkan saya. Tapi saya selalu mengikuti aturan.”
Raka tahu ini adalah titik kritis. Pak Agus sedang mencoba menggiring interogasi ini ke arah baru—mencoba memainkan kartu korban. Namun, Raka sudah bersiap untuk ini. Ia membuka dokumen lain, kali ini lebih tebal, berisi bukti-bukti yang telah dikumpulkan selama investigasi, termasuk transaksi mencurigakan dan komunikasi antara pejabat daerah dan Ridwan, yang diduga melibatkan Pak Agus.
“Saya paham, Pak Agus. Tapi bukti-bukti ini menunjukkan hal yang berbeda. Saya yakin Bapak memahami betapa seriusnya tuduhan ini. Jadi, mungkin Bapak bisa membantu kami memahami bagaimana transaksi ini bisa terjadi tanpa sepengetahuan Bapak?”
Pak Agus menatap berkas-berkas di depan Raka. Dia terdiam beberapa saat, mencoba mencerna situasi. Perlahan, ketenangannya mulai memudar. Meskipun ia masih berusaha mempertahankan kontrol, kini jelas bahwa ia sedang menghadapi situasi yang jauh lebih sulit daripada yang ia perkirakan.
Akhirnya, dengan suara yang terdengar lebih berat, Pak Agus berkata, “Mungkin ada pihak-pihak lain yang terlibat lebih dalam daripada yang saya sadari. Saya akan berusaha membantu penyelidikan ini sebaik mungkin, Pak Raka. Tapi saya juga harus menjaga reputasi saya.”
Raka mengangguk, memahami maksud terselubung di balik kalimat itu. Pak Agus sedang mencari cara untuk menyelamatkan dirinya sendiri, mungkin dengan mengorbankan orang lain. Ini adalah tanda bahwa ia mulai merasakan tekanan sesungguhnya. Dan bagi Raka, ini adalah sinyal bahwa interogasi ini mulai bergerak ke arah yang benar.
“Baik, Pak Agus,” jawab Raka dengan tenang, “Saya yakin kita akan menemukan kebenaran di sini. Dan saya menghargai kerja sama Bapak.”
Raka tahu, ini belum akhir dari segalanya. Pak Agus mungkin telah menunjukkan retakan dalam pertahanannya, tetapi permainan ini masih jauh dari selesai. Ada lebih banyak yang harus digali, lebih banyak yang harus diungkap. Tapi satu hal yang pasti, Raka sekarang memiliki kendali penuh atas interogasi ini, dan Pak Agus tahu bahwa ia sudah tidak bisa lari dari kebenaran.
*************
Pindah ke bab selanjutnya.