Penghancuran
di Ruang Interogasi
“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”
Baca Novel Penghancuran di Ruang Interogasi
Bab 10: Pak Agus, Pejabat Misterius
Raka Santoso menghela nafas panjang saat memasuki ruang interogasi yang dingin dan sunyi. Di dalam ruangan itu, ia sudah menghabiskan berjam-jam menekan saksi-saksi dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mengurai kebohongan demi kebohongan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan bahwa semua jalan dalam kasus ini mengarah ke satu nama—Pak Agus.
Nama itu mulai muncul secara perlahan, terungkap dari sela-sela percakapan saat Bu Nita dan Ridwan menjawab dengan canggung. Meski tidak ada satupun yang secara eksplisit menyebutkan keterlibatan langsung, Raka tahu bahwa Pak Agus ada di balik skema besar ini. Dia adalah pejabat tinggi di kementerian, seseorang yang sudah lama dikenal sebagai sosok misterius dan untouchable.
Setiap kali nama Pak Agus terucap, atmosfer di dalam ruang interogasi berubah. Raka memperhatikan perubahan mikroekspresi yang signifikan pada wajah saksi. Kedipan cepat, pupil melebar, hingga tangan yang tiba-tiba bergetar halus—semua menunjukkan bahwa nama Pak Agus memicu ketakutan.
Di sinilah tantangan baru dimulai. Pak Agus bukan hanya seorang pejabat biasa, dia adalah seorang figur yang sudah lama dianggap tidak bisa disentuh oleh hukum. Keberadaan Pak Agus dalam sistem perizinan dan regulasi yang mengatur izin lingkungan telah menjadi bayang-bayang gelap yang melindungi praktik korupsi. Sekarang, dengan namanya yang terus muncul dari para saksi, Raka tahu dia tidak bisa lagi menunda. Pak Agus harus menjadi fokus utama penyelidikan ini.
Raka membuka map di hadapannya, memandangi dokumen-dokumen yang tersusun rapi. Berbagai bukti, mulai dari perizinan tambang yang mencurigakan hingga dokumen pajak yang tidak sesuai, semua mengarah pada skema besar yang melibatkan banyak pihak. Namun, sosok Pak Agus masih seperti hantu dalam cerita ini—hadir, namun belum terungkap sepenuhnya.
Pikirannya terlempar kembali ke interogasi sebelumnya dengan Bu Nita. Saat nama Pak Agus pertama kali disebutkan, Bu Nita tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Tangannya gemetar ketika ia membuka dokumen-dokumen palsu yang diajukan oleh Raka, seakan takut pada konsekuensi yang akan terjadi jika terlalu banyak yang ia katakan.
"Pak Agus," Raka bergumam dalam hati. Nama itu terngiang terus di pikirannya.
"Jadi, Bu Nita, siapa yang menyuruh Anda menandatangani dokumen ini?" tanya Raka dengan nada lembut, tetapi tajam, saat itu.
Bu Nita tampak gugup, bibirnya bergetar, dan ia mulai menghindari tatapan Raka. Setelah jeda yang cukup lama, ia akhirnya menjawab dengan suara pelan, "Saya hanya menjalankan perintah, Pak. Saya... saya tidak tahu terlalu banyak tentang ini."
Raka tahu Bu Nita sedang berbohong. Nada suaranya, kedipan matanya yang cepat, serta bahu yang turun saat ia mencoba mengalihkan pembicaraan, semua tanda itu menunjukkan bahwa ia menyembunyikan sesuatu yang penting.
"Bu Nita, kita tidak sedang bermain-main di sini. Siapa yang memberi perintah ini?" Raka bertanya lebih tegas.
Kali ini, Bu Nita hanya bisa menunduk, menghindari kontak mata. Saat itu pula, untuk pertama kalinya, ia menyebut nama itu dengan sangat pelan. "Pak Agus."
Raka langsung mencatat nama itu, meskipun ia sudah memperkirakan sebelumnya bahwa sosok Pak Agus pasti ada di balik semua ini. Namun, meski nama itu sudah disebut, Raka tahu bahwa ini hanyalah awal dari pertempuran panjang.
Ridwan adalah orang kedua yang mengungkapkan nama Pak Agus. Dalam interogasi yang panjang dan penuh ketegangan, Raka berhasil membuat pengusaha tambang itu kehilangan kendali. Tawa arogannya yang semula muncul setiap kali Raka menyinggung soal pemalsuan pajak, perlahan-lahan mulai pudar ketika nama Pak Agus dibahas.
"Jadi, semua ini diatur oleh Pak Agus?" tanya Raka dengan suara yang tenang tapi menusuk.
Ridwan, yang sebelumnya begitu percaya diri, kini tampak gelisah. Ia mencoba mempertahankan sikapnya yang tenang, tetapi Raka bisa melihat tanda-tanda kecil ketidaknyamanan. Ridwan mulai menggoyangkan kaki di bawah meja, tangannya sibuk memainkan cincin di jarinya—semua itu menunjukkan bahwa ia sedang berusaha keras menutupi kebohongannya.
"Saya tidak tahu apa-apa soal Pak Agus. Saya hanya mengurus tambang saya sendiri," jawab Ridwan, tetapi Raka tahu itu tidak sepenuhnya benar.
Flashback mengisi pikiran Raka, mengingat momen-momen saat ia pertama kali menyadari adanya kolusi antara pejabat pemerintah dan pengusaha tambang. Semuanya begitu sistematis. Ada dokumen-dokumen palsu yang dibuat untuk mempercepat perizinan tambang, ada pajak yang tidak dibayar dengan benar, dan ada sejumlah uang yang mengalir dengan bebas ke tangan para pejabat. Semua ini, menurut Raka, tidak mungkin bisa berjalan tanpa adanya perlindungan dari tingkat yang lebih tinggi. Dan Pak Agus, dalam posisi strategisnya di kementerian, adalah sosok yang paling masuk akal untuk ditelusuri.
Raka tahu, meskipun Ridwan berusaha mengelak, kehadiran Pak Agus dalam skema ini tidak bisa diabaikan.
Sosok Pak Agus semakin membayangi penyelidikan. Raka mulai melakukan penyelidikan mendalam di balik layar, mencari tahu lebih banyak tentang pejabat misterius ini. Di kementerian, Pak Agus dikenal sebagai seseorang yang sangat berkuasa dan sulit disentuh. Dalam sistem perizinan tambang, namanya sering kali muncul, tetapi selalu dalam konteks yang bersih. Tidak pernah ada bukti langsung yang bisa menyeretnya ke kasus korupsi atau pelanggaran hukum lainnya.
Namun, Raka yakin bahwa semua ini adalah bagian dari permainan yang sudah direncanakan dengan matang. Pak Agus berhasil menyembunyikan jejaknya dengan baik, membiarkan orang lain seperti Bu Nita dan Ridwan mengambil risiko besar di lapangan, sementara ia tetap berada di belakang layar, terlindungi oleh posisinya yang kuat.
Sejarah panjangnya dalam sistem pemerintahan juga menjadi salah satu faktor yang membuat Raka harus berhati-hati. Pak Agus bukan pejabat biasa. Dia sudah bertahun-tahun berada di posisi puncak, dan memiliki jaringan yang luas di berbagai instansi pemerintah. Ini berarti, setiap langkah yang diambil oleh Raka harus dilakukan dengan sangat cermat. Sebuah kesalahan kecil saja bisa membahayakan seluruh penyelidikan ini.
Setiap kali Raka menyebut nama Pak Agus dalam interogasi, respon yang ia terima selalu sama—keraguan dan ketakutan. Para saksi yang sebelumnya berusaha tenang, tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda kebingungan, seakan takut jika terlalu banyak mengungkapkan detail. Ini membuat Raka semakin yakin bahwa Pak Agus terlibat lebih dalam dari yang ia bayangkan.
Namun, masalahnya adalah bagaimana membawa kasus ini ke permukaan. Dengan kekuatan dan pengaruh Pak Agus, langkah salah sedikit saja bisa membuat seluruh kasus ini menguap begitu saja, atau bahkan lebih buruk lagi, membawa ancaman besar bagi keselamatan tim penyidik.
Raka menatap map yang ada di depannya sekali lagi. Setumpuk dokumen dengan bukti-bukti yang sudah mulai mengarah pada kolusi tingkat tinggi. Tapi ini masih belum cukup. Dia butuh lebih banyak, sesuatu yang bisa benar-benar membongkar kedok Pak Agus.
Flashback mengisi pikiran Raka tentang bagaimana dia pertama kali terlibat dalam kasus korupsi seperti ini. Dari semua pengalaman itu, dia belajar bahwa ada satu cara untuk menembus pertahanan seseorang yang merasa tidak tersentuh oleh hukum—dengan menekan mereka dari lingkaran orang-orang terdekatnya. Dan inilah yang akan dilakukan Raka selanjutnya. Pak Agus mungkin sulit disentuh, tapi orang-orang di sekitarnya, mereka bisa menjadi pintu masuk untuk menggoyahkan tembok kekuasaan yang telah ia bangun selama ini.
Dan pertarungan ini baru saja dimulai.
*************
Pindah ke bab selanjutnya.