Penghancuran
di Ruang Interogasi

“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”

Baca Novel Penghancuran di Ruang Interogasi

Bab 9: Perlawanan Mental Ridwan

Ruangan interogasi terasa lebih sempit dibandingkan sebelumnya, seolah udara menebal oleh ketegangan yang semakin kuat. Ridwan, pengusaha tambang yang selama ini percaya diri, kini tampak mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Bukan karena fisiknya, tapi mentalnya yang kian terkikis. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh Raka Santoso, sang penyidik, semakin mengarah pada hal-hal yang tidak bisa lagi ia sangkal.

Di seberang meja, Raka duduk tenang. Mata tajamnya tidak pernah lepas dari gerak-gerik Ridwan, yang sekarang duduk dengan postur tubuh lebih tertutup dibandingkan pertemuan sebelumnya. Lengan Ridwan terlipat rapat di depan dadanya, sebuah bahasa tubuh klasik yang menunjukkan pertahanan diri. Setiap kali Raka melontarkan pertanyaan, Ridwan berusaha keras untuk tidak bereaksi berlebihan, tapi mikroekspresi pada wajahnya mulai muncul — sudut bibir yang sedikit bergerak ke bawah, mata yang seolah mencari jalan keluar.

“Baiklah, Pak Ridwan,” suara Raka terdengar datar namun penuh otoritas. “Kita sudah membahas dokumen-dokumen pajak ini dengan detail, dan kita sepakat bahwa ada beberapa hal yang...tidak sinkron.”

Ridwan menatap Raka dengan tatapan tajam. “Saya sudah katakan berkali-kali, itu bukan tanggung jawab saya. Semua sudah dikerjakan oleh bagian keuangan. Saya hanya mengelola operasional.”

Raka mengangguk pelan, tapi ia tidak langsung menanggapi. Ia membiarkan kata-kata Ridwan menggantung di udara, memberinya ruang untuk bernafas, sementara pikirannya tetap fokus menggali kebohongan yang ia tahu Ridwan sembunyikan. Ridwan mengira dirinya bisa lepas dari jeratan hukum dengan melempar tanggung jawab kepada orang lain, sebuah strategi yang sudah sangat sering Raka temui. Tapi kali ini, Raka sudah punya senjata yang lebih tajam—bukti pemalsuan data pajak yang secara langsung menjerat Ridwan.

“Apa Anda tahu bagaimana pajak ini diatur? Secara pribadi?” tanya Raka, nadanya tetap santai namun mematikan.

Ridwan merengut. “Saya bilang, itu bukan urusan saya. Ada tim keuangan yang menangani itu. Saya hanya menjalankan perusahaan. Mereka melaporkan semuanya ke saya dalam bentuk laporan.”

“Laporan yang Anda tandatangani sendiri, ya?”

“Ya, tentu saja. Tapi saya tidak terlibat dalam prosesnya. Itu semua kerjaan bagian keuangan dan administrasi.”

Kali ini, Raka membungkukkan badannya sedikit ke depan, menatap Ridwan lebih intens. “Jadi Anda bilang Anda menandatangani laporan tanpa memeriksanya?”

Ridwan tersentak, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. “Tentu saya memeriksanya...secara umum.”

“Secara umum?” Raka mengulang kalimat itu, seolah menggali lebih dalam. “Karena dalam laporan yang Anda tandatangani, ada beberapa transaksi yang...menarik. Seperti yang ini, misalnya.”

Raka membuka folder di depannya dan mengeluarkan selembar dokumen yang ditandatangani Ridwan. Mata Ridwan mengikuti gerakan Raka dengan hati-hati, matanya menyipit sejenak, dan Raka memperhatikan bagaimana bibirnya sedikit gemetar sebelum ia berbicara.

“Ini adalah laporan tahunan pajak perusahaan tambang Anda, Pak Ridwan. Di sini tercatat adanya pengurangan besar dalam jumlah pajak yang dibayarkan, jauh lebih rendah dari yang seharusnya. Dan di sini ada bukti bahwa data yang diberikan ke pihak perpajakan telah dimanipulasi. Apakah Anda tahu siapa yang melakukannya?”

Ridwan bersandar ke belakang dengan gerakan tiba-tiba, lipatan tangannya semakin erat di dada. “Saya sudah bilang, saya tidak tahu soal itu. Saya bukan orang keuangan.”

Namun, Raka tahu bahwa Ridwan mulai merasakan tekanan. Mikroekspresi ketakutan mulai muncul di wajahnya. Kelopak matanya sedikit bergerak lebih cepat, dan tangannya yang masih dilipat berusaha mengendalikan tremor halus yang mulai terlihat.

Raka menatapnya tanpa berkedip. “Pak Ridwan, mari kita jujur saja di sini. Dokumen ini tidak dibuat oleh tim keuangan tanpa sepengetahuan Anda. Anda menandatanganinya, dan Anda tahu bahwa data di dalamnya tidak benar.”

Ridwan tidak menjawab. Alih-alih, ia mencoba mengganti topik. “Kalian seharusnya memeriksa orang-orang di bagian keuangan, bukan saya. Saya hanya menjalankan perusahaan. Apa yang mereka lakukan di balik meja administrasi bukan tanggung jawab saya.”

“Apakah begitu, Pak Ridwan?” Raka berkata sambil memiringkan kepalanya sedikit, seolah-olah mempertimbangkan ucapan Ridwan. “Tapi ini tandatangan Anda. Dan jika tandatangan ini benar, maka secara hukum Anda bertanggung jawab atas apa yang terjadi dalam laporan ini.”

Ridwan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan keras, mencoba menenangkan diri. Wajahnya kini lebih tegang, dan senyum arogan yang ia pamerkan di awal interogasi hilang entah ke mana. Kali ini, Ridwan memilih untuk diam.

Raka tahu bahwa ini adalah momen penting. Ridwan berada di ujung tali, dan satu dorongan lagi bisa mematahkan perlawanan mentalnya.

“Anda tahu apa yang saya lihat, Pak Ridwan?” Raka melanjutkan, nada suaranya lebih lembut, namun penuh ancaman. “Saya melihat seseorang yang mencoba melemparkan kesalahan kepada orang lain. Tapi sayangnya, bukti-bukti ini terlalu kuat. Anda mungkin bisa membohongi diri sendiri, tapi fakta tidak pernah berbohong.”

Ridwan mengepalkan tangannya di atas meja, tanda frustrasi yang jelas. Wajahnya kini memerah, dan meskipun ia berusaha terlihat tenang, tubuhnya menceritakan kisah yang berbeda. Ia bersandar lebih jauh ke belakang, seolah ingin menciptakan jarak antara dirinya dan dokumen yang ditunjukkan oleh Raka.

“Ini jebakan. Kalian sedang menjebak saya!” Ridwan akhirnya bersuara, suaranya lebih tinggi dan penuh emosi. “Kalian pikir saya tidak tahu bagaimana sistem bekerja? Saya tahu kalian ingin mengkambinghitamkan saya!”

Raka mengangkat alisnya sedikit, bereaksi dengan tenang terhadap tuduhan itu. “Tidak ada yang mencoba menjebak Anda, Pak Ridwan. Kami hanya mencari kebenaran. Jika Anda tidak terlibat, maka Anda seharusnya tidak memiliki masalah untuk menjelaskan setiap dokumen ini.”

Ridwan kembali bungkam, kali ini pandangannya terpaku pada meja di depannya. Raka memperhatikan setiap gerakan kecil — mata yang beralih pandang, jari yang mulai mengetuk meja secara perlahan, dan napas yang sedikit terengah-engah. Ridwan mulai kalah dalam pertempuran mental ini, dan Raka tahu bahwa saatnya hampir tiba.

“Kami akan memberikan Anda waktu untuk berpikir, Pak Ridwan,” kata Raka, sambil menutup dokumen itu dan menyusunnya kembali dalam folder. “Tapi ingat, semakin lama Anda menunda kebenaran, semakin besar konsekuensinya bagi Anda.”

Raka berdiri perlahan, memberikan satu pandangan terakhir kepada Ridwan sebelum meninggalkan ruangan. Ia tahu bahwa interogasi ini jauh dari selesai, tapi celah pertama di tembok perlawanan Ridwan sudah mulai terlihat.

Ridwan mungkin sudah terbiasa menghadapi situasi sulit, tapi kali ini ia berhadapan dengan sesuatu yang berbeda. Bukan hanya bukti-bukti yang kuat, tapi seorang penyidik seperti Raka, yang mampu membaca setiap gerakan kecil dan sinyal yang tersembunyi di balik kata-kata yang keluar dari mulut Ridwan.

Ketika Raka keluar dari ruangan, ia merasakan kepuasan kecil. Ridwan mungkin masih bertahan, tapi ia tahu bahwa permainan ini sudah mulai berubah. Tinggal menunggu waktu sebelum Ridwan menyerah pada tekanan, dan akhirnya, membuka jalan menuju pengungkapan yang lebih besar.

Raka tersenyum tipis. Dia sudah lama dalam permainan ini, dan dia tahu bahwa kebenaran selalu menang, tidak peduli seberapa keras seseorang mencoba melarikan diri darinya.

Di luar ruangan, Raka menghela napas panjang, bersiap untuk langkah berikutnya. Pertarungan mental dengan Ridwan mungkin belum berakhir, tapi hasilnya sudah mulai terlihat di depan mata.


*************
Pindah ke bab selanjutnya.