Penghancuran
di Ruang Interogasi
“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”
Baca Novel Penghancuran di Ruang Interogasi
Bab 8: Permainan Ridwan
Ridwan duduk kembali di ruang interogasi, dengan aura percaya diri yang sama, tetapi Raka tahu, di balik wajah tenangnya ada kegelisahan yang mulai muncul. Setiap gerak-gerik Ridwan, setiap senyuman kecil, dan bahkan sorot matanya, semuanya adalah bagian dari permainan yang sedang dia mainkan. Ridwan bukan orang biasa. Dia tahu bagaimana menghadapi penyelidik, bagaimana mengalihkan topik dan memutar balik fakta untuk membuat semuanya terlihat tidak penting atau seolah-olah itu hanya kesalahan kecil.
“Kita kembali ke topik izin tambang,” kata Raka sambil membuka dokumen lain. Ridwan tampak siap untuk mengelak lagi, tetapi kali ini, Raka lebih siap. Dia memperhatikan gerakan kecil yang mulai muncul dari tangan Ridwan—jari-jarinya yang kini bergerak tak beraturan di pangkuannya, sesuatu yang tak dia lakukan sebelumnya.
“Saya rasa kita sudah membahas itu, Pak Raka,” jawab Ridwan dengan nada tenang, senyumnya masih tampak di bibirnya. “Saya sudah menjelaskan bahwa semua izin itu dikeluarkan secara sah. Saya tidak tahu apa lagi yang bisa saya tambahkan.”
Raka diam sejenak, matanya tertuju pada jari-jari Ridwan yang tampak sedikit gemetar saat dia membicarakan izin tambang tersebut. Ada sesuatu yang berubah dalam cara Ridwan merespons. Jari-jarinya selalu berhenti bergerak ketika topik pajak atau perizinan dibicarakan—tanda jelas bahwa itu adalah titik rawan bagi Ridwan.
"Kita belum membahas semuanya," kata Raka akhirnya, suaranya tenang tapi tegas. "Faktanya, kita baru saja menyentuh permukaan. Misalnya, terkait laporan pajak tambang Anda selama lima tahun terakhir. Ada ketidaksesuaian besar di sana, dan ini bukan hanya kesalahan administratif."
Wajah Ridwan berubah, meski hanya sejenak. Namun itu cukup bagi Raka untuk mengetahui bahwa dia sedang menekan tombol yang tepat. Ridwan merapatkan tubuhnya ke kursi, tangannya yang tadinya tampak santai kini saling menggenggam di atas meja.
“Pajak tambang saya sudah diaudit, semuanya sah,” ujar Ridwan, nada suaranya tetap tenang, tapi ada kekakuan yang jelas. “Saya membayar pajak sesuai peraturan.”
Raka tidak segera menjawab. Sebaliknya, dia membiarkan kesunyian mengisi ruangan sejenak. Dia tahu, dalam situasi seperti ini, terkadang keheningan bisa lebih efektif daripada kata-kata. Ridwan mulai tampak sedikit tidak nyaman, meskipun dia berusaha keras untuk menutupinya. Jari-jarinya kembali bergerak, kali ini mengetuk meja secara tidak sadar.
"Kami menemukan beberapa dokumen lama yang tampaknya memberikan gambaran berbeda," ujar Raka sambil menarik beberapa lembar laporan dari map di depannya. "Misalnya, laporan pajak tambang Anda tahun pertama operasi. Produksi yang Anda laporkan jauh di bawah kapasitas tambang yang sebenarnya. Dan ini bukan kebetulan."
Ridwan mencoba tersenyum, tapi senyum itu tak sampai ke matanya. "Kesalahan awal, Pak Raka. Tambang baru mulai beroperasi, dan mungkin ada beberapa ketidaksesuaian dalam perhitungan produksi. Saya yakin itu sudah diperbaiki di laporan berikutnya."
Raka menatapnya tajam. "Mungkin itu benar. Atau mungkin tidak. Karena ketidaksesuaian ini terus terjadi setiap tahun. Dan menariknya, setiap kali pajak Anda lebih rendah dari yang seharusnya. Seperti ada pola."
Ridwan tampak semakin tidak nyaman. Senyumannya semakin tipis, dan untuk pertama kalinya, dia memalingkan wajah dari tatapan Raka. Sekarang permainan mulai berubah. Ridwan, yang sebelumnya mencoba mengendalikan arah interogasi, mulai merasa seperti tikus yang terjebak di dalam ruangan yang semakin sempit. Dia berusaha mengalihkan topik, tapi Raka terus menariknya kembali ke pokok permasalahan.
“Kami memiliki bukti yang cukup kuat bahwa ada manipulasi sistematis pada laporan pajak Anda,” kata Raka, matanya masih terpaku pada Ridwan. “Dan itu bukan hanya terjadi sekali. Ini berlangsung selama bertahun-tahun, dengan pola yang sama. Dan kami tahu bahwa Anda tidak melakukannya sendiri.”
Ridwan tersentak, meskipun dia berusaha keras menutupi reaksi tersebut. Matanya kembali bertemu dengan tatapan Raka, tapi kali ini tanpa kepercayaan diri yang sama. "Apa yang Anda maksud?"
Raka tidak menjawab langsung. Dia membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara, sementara pikirannya mulai merangkai kembali potongan-potongan informasi yang telah dia kumpulkan selama ini. Ridwan mungkin berpikir bahwa dia bisa lolos dengan senyuman dan tipu muslihat, tapi Raka tahu lebih baik. Dia tahu bahwa setiap senyuman Ridwan menyimpan kebanggaan terselubung bahwa dia berhasil mempermainkan sistem.
Flashback seketika membawa pembaca kembali ke momen-momen awal saat Ridwan pertama kali mulai bermain dengan angka-angka. Tahun itu, tambangnya baru saja beroperasi, dan tekanan untuk sukses sangat tinggi. Di meja kantornya, Ridwan duduk bersama seorang pejabat pemerintahan yang tak disebutkan namanya. Pria itu tampak santai, mengenakan jas rapi, dengan secarik kertas di tangannya—laporan pajak tambang pertama Ridwan.
“Angkanya harus lebih kecil,” ujar pejabat itu dengan nada rendah namun tegas. “Kita harus memastikan Anda tidak menarik perhatian. Kalau angka ini terlalu besar, akan ada lebih banyak pertanyaan, lebih banyak audit. Anda tidak mau itu terjadi, kan?”
Ridwan menatap laporan itu dengan hati-hati. Di satu sisi, dia tahu bahwa permainan ini berisiko. Tapi di sisi lain, keuntungan yang ditawarkan terlalu besar untuk diabaikan. "Berapa kecil yang harus saya laporkan?"
Pejabat itu tersenyum, meletakkan pulpen di atas kertas. "Serahkan saja pada kami. Anda cukup mengikuti arahannya, dan kita semua akan senang."
Dan begitu saja, Ridwan memasuki lingkaran manipulasi yang diatur dengan rapi. Tahun demi tahun, laporan pajaknya diubah, jumlah produksi tambang dikurangi, dan pejabat-pejabat terkait selalu siap melindunginya. Sebagai imbalannya, Ridwan memberikan bagian yang cukup besar dari keuntungan itu untuk memastikan semua orang tetap bungkam.
Kembali ke ruang interogasi, Raka mengamati Ridwan yang semakin gelisah. Dia tahu bahwa apa yang disaksikannya sekarang adalah seorang pria yang mulai kehilangan kendali atas permainan yang dia ciptakan sendiri. Setiap kali topik pajak diajukan, Ridwan mencoba mengalihkan pembicaraan, mencoba memutar balik fakta, tapi jari-jarinya yang gemetar dan senyumnya yang semakin pudar adalah bukti jelas bahwa dia mulai merasa terpojok.
“Siapa pejabat yang membantu Anda memanipulasi laporan pajak?” tanya Raka, dengan nada lembut tapi penuh tekanan.
Ridwan menghela napas, matanya menatap tajam ke arah Raka. "Anda tidak punya bukti untuk itu. Anda hanya berspekulasi."
Namun, di dalam dirinya, Ridwan tahu bahwa Raka semakin dekat. Meskipun dia berusaha keras untuk mengendalikan interogasi ini, tanda-tanda kelemahan kecil mulai muncul di permukaannya. Dia tidak bisa terus mengelak selamanya. Raka melihat itu, dan dia siap untuk mengeksploitasi setiap kelemahan yang muncul.
"Anda bisa bersembunyi di balik senyum dan spekulasi," kata Raka pelan, "tapi pada akhirnya, kebenaran akan keluar. Dan saat itu, tidak akan ada tempat untuk Anda bersembunyi."
Ridwan tersenyum tipis, tetapi kali ini, senyum itu tidak memiliki keyakinan yang sama. Dia tahu permainan ini mulai mendekati akhirnya.
*************
Pindah ke bab selanjutnya.