Penghancuran
di Ruang Interogasi

“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”

Baca Novel Penghancuran di Ruang Interogasi

Bab 6: Flashback Awal – Skema Korupsi

Raka duduk di kursi ruang interogasi, berpikir keras. Di depannya, Bu Nita masih tampak gelisah, meski interogasi telah selesai untuk sementara waktu. Namun, Raka merasa ada sesuatu yang belum terungkap. Sesuatu yang lebih besar dan lebih mengerikan daripada sekadar dokumen palsu yang mereka temukan.

Dalam pikirannya, potongan-potongan informasi mulai terhubung, membentuk pola yang menakutkan. Sesuatu tentang cara dokumen-dokumen ini dipalsukan—dengan begitu rapih, begitu sistematis—tidak bisa dilakukan oleh hanya satu orang atau satu departemen kecil. Ini adalah hasil dari kerja sama yang melibatkan banyak orang, banyak kekuatan. Perlahan, ingatannya kembali ke awal mula penyelidikan ini, saat tanda-tanda pertama korupsi muncul di permukaan.

Beberapa bulan lalu, Raka pertama kali mendengar desas-desus tentang tambang besar di kawasan itu yang tidak sesuai dengan peraturan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Awalnya, hanya bisik-bisik kecil di kalangan pekerja tambang dan beberapa aktivis lingkungan. Tidak ada yang konkret, hanya tudingan bahwa perusahaan tambang telah melanggar aturan dan menyogok pejabat pemerintah untuk memuluskan proses perizinan mereka.

Namun, setelah beberapa kali inspeksi lapangan dan investigasi awal, Raka mulai melihat ada kejanggalan. Dokumen-dokumen yang seharusnya terdaftar di dinas lingkungan hidup tidak cocok dengan kondisi lapangan. Tambang tersebut seharusnya tidak boleh beroperasi di area yang begitu sensitif secara lingkungan, tetapi mereka tetap memiliki izin.

Di sinilah semuanya bermula.

Dalam sebuah rapat tertutup di kantornya, Raka mengajukan masalah ini kepada timnya. "Ada sesuatu yang janggal dengan izin tambang di wilayah ini," ujarnya tegas, sambil menunjuk ke peta besar yang menampilkan wilayah operasi tambang. "Izin lingkungan yang mereka miliki tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Kalau ini dibiarkan, dampak lingkungannya akan sangat parah, dan kita tahu ada permainan di baliknya."

Hadi, salah satu koleganya, mengangguk. "Tapi kita butuh lebih dari sekadar dugaan, Raka. Kita butuh bukti konkret."

Raka setuju. Itulah yang membuatnya mulai menggali lebih dalam. Ia memutuskan untuk memeriksa arsip lama, mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas perizinan tambang ini sejak awal. Dari sinilah ia pertama kali menemukan nama-nama seperti Pak Sugiharto dan beberapa pejabat lain di dinas lingkungan hidup.

Awalnya, hanya ada beberapa dokumen yang tidak sinkron—formulir yang terlihat direkayasa, tanda tangan yang tampak aneh, dan surat keputusan yang tampaknya diubah-ubah. Semakin dalam ia menyelidiki, semakin banyak kejanggalan yang terungkap. Namun, kejanggalan ini belum cukup untuk membuktikan bahwa ada korupsi besar-besaran. Tapi Raka tahu, di balik semua ini, ada skema besar yang sedang berjalan.

Raka mengenang hari ketika ia pertama kali menginterogasi seorang staf administrasi di dinas lingkungan hidup yang memberikan keterangan mengejutkan. Namanya Anton, seorang pegawai rendahan yang tampaknya tahu banyak, tapi takut berbicara. Waktu itu, Raka berhasil membujuknya untuk berbicara dengan imbalan jaminan perlindungan.

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan izin tambang ini, Anton?" tanya Raka dalam ruang interogasi kecil itu.

Anton tampak gelisah, tangannya gemetar, jelas ketakutan. "Saya... saya hanya mengikuti perintah, Pak. Saya tidak tahu banyak. Semua sudah diatur dari atas."

"Siapa yang mengatur? Sugiharto?" desak Raka.

Anton mengangguk perlahan. "Pak Sugiharto, dia orang kunci. Tapi dia tidak sendirian. Ada banyak pejabat yang terlibat. Mereka semua bekerja sama untuk memuluskan izin tambang itu. Uang mengalir ke mana-mana, Pak. Kami semua tahu, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa."

Raka mendengarkan dengan cermat. Ini adalah pertama kalinya ia mendengar seseorang secara langsung menghubungkan Sugiharto dengan korupsi yang terjadi. Tapi Raka tahu, masih ada lebih banyak yang harus digali.

"Apa maksudmu dengan 'banyak pejabat'? Siapa lagi yang terlibat?" tanya Raka lagi, suaranya lebih tajam.

Anton ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Saya tidak tahu semua nama, tapi saya tahu beberapa. Ada beberapa pejabat tinggi dari dinas lain yang juga ikut bermain. Mereka menggunakan posisi mereka untuk menyetujui dokumen-dokumen palsu, dan menutupi jejak-jejak kecurangan itu."

Raka merasa darahnya mendidih. Ini bukan hanya soal satu atau dua orang, tapi jaringan korupsi yang luas, mencengkeram berbagai level pemerintahan. Tapi bagaimana caranya mereka bisa memanipulasi begitu banyak dokumen penting tanpa ketahuan? Dan seberapa dalam jaringan ini terhubung?

Kilatan memori itu membawa Raka kembali ke masa kini, di ruang interogasi. Matanya menatap tajam ke arah papan yang dipenuhi dokumen di depannya. Bu Nita telah meninggalkan ruangan setelah interogasi panjang, dan Raka mulai menyusun pola yang semakin jelas di pikirannya.

Pak Sugiharto tidak bekerja sendirian. Itu sudah pasti. Ada banyak pejabat lain yang terlibat, dan dokumen palsu ini hanyalah puncak gunung es. Proses perizinan yang seharusnya melalui tahapan ketat di berbagai instansi, kini disulap menjadi formalitas belaka. Para pejabat itu memanfaatkan posisi mereka untuk memalsukan dokumen, menyetujui izin tambang yang seharusnya tidak pernah diberikan.

Yang paling mengejutkan adalah cara mereka melakukan ini. Setiap dokumen tampak resmi di atas kertas, dengan stempel dan tanda tangan yang tampaknya asli. Tapi Raka tahu, ini semua adalah bagian dari skema besar. Ada pertemuan rahasia, transaksi uang di bawah meja, dan tekanan dari pihak-pihak berpengaruh untuk mempercepat proses perizinan ini.

Tambang tersebut bukan hanya masalah lingkungan. Ini adalah sumber keuntungan yang sangat besar bagi para pejabat korup yang terlibat. Setiap izin yang mereka keluarkan berarti lebih banyak uang yang mengalir ke kantong mereka. Uang itu tidak hanya berasal dari perusahaan tambang, tapi juga dari pihak-pihak lain yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan mereka sendiri.

Raka mulai memahami skemanya. Sugiharto adalah otak di balik manipulasi ini, tetapi dia tidak mungkin bertindak sendirian. Ada lapisan-lapisan pejabat lainnya yang terlibat, dari level tertinggi hingga terendah. Mereka saling melindungi, memastikan bahwa setiap dokumen yang keluar tampak sah di mata hukum.

Namun, skema ini tidak akan berjalan tanpa ada orang-orang di bawah yang terpaksa ikut serta. Pegawai rendahan seperti Anton dan Nita mungkin hanyalah korban dari tekanan sistem yang lebih besar. Mereka hanya menjalankan perintah, meskipun itu berarti melanggar hukum dan etika profesional mereka. Bagi mereka, menolak bisa berarti kehilangan pekerjaan, atau bahkan lebih buruk—kehilangan nyawa.

Raka kembali menatap dokumen-dokumen di depannya. Dia tahu bahwa ancaman yang mereka hadapi lebih besar dari sekadar korupsi perizinan tambang. Ini adalah jaringan besar yang akan melakukan apa saja untuk melindungi kepentingan mereka. Ancaman yang datang kepada dirinya, kecelakaan yang menimpa Pak Joko, dan ketakutan yang dialami Nita, semuanya adalah bagian dari permainan yang lebih besar.

Skema korupsi ini tidak hanya soal uang dan kekuasaan, tapi juga soal bagaimana orang-orang yang haus akan keduanya menggunakan segala cara untuk mempertahankan posisi mereka. Dan Raka tahu, jika dia terus melangkah maju, dia akan semakin dekat dengan bahaya.

Raka menyandarkan tubuhnya di kursi, menarik napas dalam-dalam. Dalam pikirannya, pola besar ini mulai terbentuk. Jaringan korupsi ini lebih dalam dari yang dia duga. Sugiharto hanyalah satu bagian dari puzzle besar ini. Ada lebih banyak pejabat, lebih banyak kepentingan, dan lebih banyak ancaman yang belum muncul ke permukaan.

Namun, dia juga tahu bahwa sekarang adalah waktu untuk bertindak. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur. Setiap langkah yang dia ambil dari sini harus dihitung dengan cermat. Bukan hanya untuk menjaga penyelidikan tetap berjalan, tetapi juga untuk melindungi nyawa orang-orang yang terlibat, termasuk dirinya sendiri.

Dengan tekad yang semakin bulat, Raka memutuskan langkah selanjutnya. Penyidikan ini harus dilanjutkan. Tidak peduli seberapa besar ancaman yang datang, kebenaran harus diungkapkan.

*************
Pindah ke bab 7