Penghancuran
di Ruang Interogasi
“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”
Baca Novel Penghancuran di Ruang Interogasi!
Bab 4: Panggilan Bu Nita – Keraguan yang Muncul
Hari itu terasa sedikit berbeda bagi Raka. Setelah dengan Pak Arif yang semakin menegaskan adanya sesuatu yang disembunyikan, kini saatnya memanggil orang yang berada di garis depan proses administrasi dokumen—Bu Nita. Sebagai pegawai yang menangani langsung urusan administrasi AMDAL, keterangannya bisa menjadi kunci dalam memahami lebih jauh tentang dugaan pemalsuan dokumen yang tengah diselidiki.
Raka, yang telah terbiasa dengan dinamika ruang interogasi, mempersiapkan diri untuk sesi pemeriksaan ini dengan hati-hati. Pengalaman bertahun-tahun sebagai penyidik telah memberinya kemampuan membaca bahasa tubuh dan respons psikologis tersangka maupun saksi. Kali ini, intuisi profesionalnya menuntut agar ia sangat berhati-hati—Bu Nita adalah bagian dari birokrasi yang rumit, di mana kecurigaan bisa saja mengarah pada lebih dari satu individu.
Ketika pintu ruang interogasi dibuka, Bu Nita melangkah masuk dengan gugup. Wajahnya sedikit pucat, dan Raka langsung bisa merasakan bahwa wanita itu sedang menyembunyikan ketakutan. Kedua tangan Bu Nita terlihat sedikit bergetar saat ia memegang setumpuk dokumen di pelukannya. Raka memperhatikan bahwa ia mencoba bersikap tenang, namun tidak berhasil menyembunyikan kegelisahan yang tampak jelas dari cara ia duduk dan menghindari kontak mata.
"Selamat pagi, Bu Nita," sapa Raka dengan nada netral, mencoba menciptakan suasana yang tidak terlalu menegangkan. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang hari ini. Saya yakin Anda tahu mengapa Anda dipanggil ke sini."
Bu Nita mengangguk lemah, tetapi tidak berbicara. Dia menunduk, menatap dokumen-dokumen di depannya seolah-olah mereka bisa memberinya jawaban yang ia cari.
Raka mengamati diam-diam, memperhatikan setiap detail—gerakan kecil, ekspresi wajah, kedipan mata. Semua ini adalah bagian dari keahliannya dalam membaca seseorang. Dia sudah melihat banyak orang di posisi Bu Nita—seseorang yang mungkin tahu lebih dari yang ia tunjukkan, tetapi terjepit dalam dilema antara berbicara jujur atau melindungi diri.
“Jadi, Anda bekerja sebagai pegawai administrasi di bagian AMDAL, benar?” Raka memulai dengan pertanyaan ringan untuk memulai interaksi.
“Iya… ya, benar,” jawab Bu Nita dengan suara hampir tak terdengar. Tangannya masih memegang dokumen-dokumen itu erat-erat, seakan-akan mereka adalah perisai yang bisa melindunginya.
“Baik. Saya ingin langsung saja ke inti permasalahan,” kata Raka sambil membuka map di depannya yang berisi salinan dokumen AMDAL yang mencurigakan. “Saya yakin Anda sudah familiar dengan dokumen-dokumen ini. Dokumen ini melibatkan proyek X, dan berdasarkan informasi yang kami dapat, Anda adalah orang yang menangani administrasinya.”
Raka menaruh beberapa dokumen di depan Bu Nita. Wanita itu menatapnya dengan wajah tegang, dan untuk beberapa saat, dia tampak ragu apakah ia harus menyentuhnya. Setelah beberapa detik, ia mulai membuka halaman-halaman dokumen itu dengan tangan yang sedikit bergetar.
Ketika pandangannya jatuh pada dokumen-dokumen tersebut, Raka memperhatikan kedipan mata Bu Nita menjadi lebih cepat—tanda dari ketegangan emosional yang meningkat. Sebagai penyidik, Raka sudah sering melihat reaksi seperti ini. Sesuatu dalam pikiran Bu Nita sedang berkonflik, entah karena ketakutan atau karena rasa bersalah yang ia coba sembunyikan.
"Saya ingin Anda menceritakan proses administrasi dokumen ini, Bu Nita," lanjut Raka dengan nada yang tenang namun tegas. "Bagaimana dokumen ini sampai di meja Anda? Apa yang terjadi dalam proses pengeluarannya?"
Bu Nita menelan ludah, mencoba mengumpulkan kata-kata. “Saya… saya hanya menangani administrasi, Pak Raka. Saya menerima dokumen ini dari tim lapangan, lalu saya memverifikasinya sebelum menyerahkannya untuk tanda tangan akhir.”
“Siapa yang memberikan dokumen ini kepada Anda?” tanya Raka, mulai menggali lebih dalam. Suaranya masih tenang, tetapi intonasinya menuntut kejelasan.
“Saya… saya tidak ingat dengan pasti siapa yang menyerahkannya, tapi biasanya dari tim pengawas lapangan,” jawab Bu Nita, terdengar semakin ragu. Tangannya beralih ke dahinya, menyeka keringat dingin yang mulai muncul.
Raka diam sejenak, memberikan ruang bagi Bu Nita untuk berbicara lebih banyak. Dia tahu bahwa terkadang jeda yang tepat bisa membuat orang yang diperiksa merasa semakin tidak nyaman, yang pada akhirnya bisa mendorong mereka untuk mengungkap lebih banyak informasi.
“Kami menemukan beberapa inkonsistensi dalam dokumen ini, terutama mengenai tanda tangan,” lanjut Raka dengan nada serius. “Menurut Anda, apakah tanda tangan ini asli?”
Ketika pertanyaan itu dilontarkan, Raka bisa melihat perubahan di wajah Bu Nita. Wanita itu tampak terguncang, dan tiba-tiba matanya menghindari tatapan Raka. Ini adalah momen yang Raka tunggu—reaksi spontan yang sering kali mengungkapkan lebih banyak daripada kata-kata.
“Sa-saya tidak bisa memastikan, Pak,” jawab Bu Nita, suaranya mulai goyah. “Saya… saya hanya mengikuti instruksi. Saya tidak memeriksa tanda tangan secara mendetail.”
“Tapi Anda yang memproses administrasi ini, bukan?” tekan Raka, nadanya tetap tenang namun semakin mendesak. “Apakah Anda pernah merasa ada sesuatu yang tidak beres selama proses ini?”
Bu Nita tampak semakin tidak nyaman. Tangan-tangannya mulai bermain dengan ujung baju, dan tubuhnya bergerak gelisah di kursinya. Raka bisa merasakan bahwa wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu.
“Saya… saya tidak tahu, Pak. Saya hanya melakukan tugas saya sesuai prosedur,” jawab Bu Nita, sekarang dengan nada yang hampir seperti memohon.
Raka mengamati setiap gerak-gerik Bu Nita. Dia sudah sering berhadapan dengan orang yang berada di posisi ini—seseorang yang tahu lebih dari yang mereka katakan, tetapi takut untuk mengungkapkan semuanya. Mungkin karena tekanan, mungkin karena ada sesuatu yang lebih besar yang ia coba lindungi.
“Bu Nita,” kata Raka, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap langsung ke mata wanita itu. “Saya di sini untuk mencari kebenaran. Saya mengerti bahwa Anda mungkin berada dalam situasi yang sulit, tapi semakin Anda berusaha menyembunyikan sesuatu, semakin sulit situasi ini untuk Anda. Jika ada sesuatu yang Anda tahu—apa pun itu—sekarang adalah saat yang tepat untuk mengatakannya.”
Bu Nita terdiam. Matanya tampak berkaca-kaca, seolah-olah ia berada di persimpangan antara ketakutan dan rasa bersalah. Raka menunggu dengan sabar, memberinya waktu untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Bu Nita menghela napas panjang. Tangannya gemetar saat ia menatap dokumen di depannya, seolah-olah keputusan yang harus ia buat lebih berat dari yang pernah ia bayangkan.
“Ada sesuatu… yang tidak beres dengan dokumen ini, Pak,” katanya akhirnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Raka menahan napas. Ini adalah pengakuan pertama yang ia dapatkan dari Bu Nita. Namun, dia tahu bahwa ini baru permulaan. Ia harus menggali lebih dalam untuk mendapatkan gambaran yang lengkap.
“Apa maksud Anda, Bu Nita?” tanyanya hati-hati. “Apa yang tidak beres?”
“Saya… saya hanya menerima perintah untuk memprosesnya, meskipun ada beberapa hal yang menurut saya aneh,” jawab Bu Nita, masih ragu-ragu.
Raka bisa merasakan bahwa wanita ini berada di bawah tekanan, mungkin dari atasan atau rekan-rekannya. Dia tahu bahwa interogasi ini akan membutuhkan lebih banyak waktu dan ketelitian, tetapi dengan pengakuan awal dari Bu Nita, ia merasa telah membuka pintu menuju kebenaran yang lebih besar.
Raka mengangguk pelan, berusaha tetap tenang meskipun pikirannya mulai bekerja lebih cepat. Pengakuan Bu Nita ini membuka pintu yang lebih besar, namun ia harus berhati-hati dalam melanjutkan. Satu langkah yang salah bisa membuat Bu Nita kembali menutup diri, dan informasi yang diharapkan takkan pernah terungkap sepenuhnya.
"Perintah dari siapa, Bu Nita?" Raka melanjutkan pertanyaannya dengan suara yang tetap tenang, namun lebih tegas dari sebelumnya.
Bu Nita menggigit bibir bawahnya, terlihat bimbang. Matanya berkedip lebih cepat dari biasanya, sebuah tanda yang Raka kenali sebagai keraguan dan ketakutan. Wanita ini tidak hanya takut pada dirinya, tetapi lebih pada konsekuensi dari apa yang akan terjadi jika ia berbicara terlalu banyak.
"Sa-saya tidak tahu siapa yang memberikan perintah langsung, Pak," jawab Bu Nita akhirnya. "Saya... Saya hanya menerima instruksi dari atasan saya. Tapi, saya pikir... ada yang aneh dari cara semuanya diselesaikan."
"Aneh bagaimana, Bu Nita?" Raka menggali lebih dalam, merasa bahwa sekarang adalah saatnya untuk menekan sedikit lebih keras.
"Semuanya terasa sangat terburu-buru," Bu Nita menjawab dengan nada yang semakin ragu-ragu. "Biasanya, dokumen seperti ini memerlukan waktu lebih lama untuk diproses, terutama untuk proyek sebesar ini. Tapi saya diberitahu untuk menyelesaikannya secepat mungkin, tanpa mempertanyakan lebih jauh. Saat saya mencoba bertanya, saya disuruh diam."
Raka merasakan ada ketakutan yang mendalam di balik kata-kata Bu Nita. Ini bukan hanya tentang pemalsuan dokumen biasa—ada yang lebih besar di baliknya, sebuah konspirasi yang mungkin melibatkan lebih banyak orang dari yang sebelumnya ia bayangkan.
"Siapa yang menyuruh Anda untuk tidak bertanya, Bu Nita?" Raka mendorong lagi, kini semakin fokus.
"Saya... saya tidak bisa mengatakan dengan pasti, Pak." Bu Nita menunduk, mencoba menghindari tatapan Raka. "Tapi saya tahu ada orang-orang di tingkat yang lebih tinggi yang terlibat dalam hal ini. Saya hanya pegawai biasa, Pak. Saya takut jika saya bicara terlalu banyak, saya bisa kehilangan jabatan saya... atau lebih buruk."
Kata-kata terakhir Bu Nita menggema di kepala Raka. Ancaman kehilangan pekerjaan seringkali menjadi alat tekanan yang digunakan oleh mereka yang berkuasa untuk membuat bawahannya tetap diam. Namun, "lebih buruk" dari sekadar kehilangan pekerjaan? Ini menandakan bahwa mungkin ada ancaman yang lebih berbahaya di luar hanya soal karir.
"Bu Nita," kata Raka, mencondongkan tubuh sedikit ke depan, mencoba menunjukkan empati tanpa kehilangan otoritasnya. "Saya mengerti Anda berada dalam posisi yang sulit. Tapi saya juga perlu Anda pahami bahwa semakin lama Anda menyembunyikan sesuatu, semakin sulit situasi ini bagi Anda. Kami bisa melindungi Anda, tapi hanya jika Anda jujur dan terbuka tentang apa yang sebenarnya terjadi."
Bu Nita menatap Raka sejenak, lalu kembali memandang ke bawah. Raka bisa melihat ketegangan di wajahnya, perang batin yang sedang terjadi di dalam dirinya—antara keinginan untuk melindungi dirinya sendiri dan tekanan moral untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Saya... saya tidak tahu banyak, Pak," kata Bu Nita akhirnya, suaranya pelan dan hampir tidak terdengar. "Saya hanya tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan dokumen ini. Saya merasa mereka memalsukan beberapa data, terutama pada bagian tanda tangan. Tapi saya tidak tahu siapa yang benar-benar bertanggung jawab atas hal ini."
Raka menghela nafas pelan. Ia tahu ini bukanlah pengakuan penuh yang ia butuhkan, tetapi setidaknya ini adalah langkah awal. Bu Nita jelas tahu lebih banyak, tetapi ketakutan menahannya untuk berbicara lebih lanjut.
"Apakah Anda pernah melihat dokumen asli sebelum diserahkan untuk proses administrasi?" tanya Raka, mencoba mengarahkan percakapan ke arah yang lebih spesifik.
"Ya... saya pernah melihatnya, tapi hanya sekilas," jawab Bu Nita dengan nada hati-hati. "Ada beberapa perbedaan, tapi saya tidak terlalu memperhatikan karena perintahnya datang dengan sangat mendesak. Saya... saya tidak tahu apa yang harus dilakukan saat itu."
"Perbedaan apa yang Anda lihat?" tanya Raka, semakin fokus pada detail.
"Saya... saya ingat ada beberapa angka yang berbeda di bagian lampiran data proyek. Sepertinya jumlah material yang digunakan dalam proyek ini berbeda dari yang tertera di laporan awal. Tapi ketika saya mengajukan pertanyaan tentang itu, saya diminta untuk melanjutkan saja tanpa mempertanyakannya."
Raka mencatat informasi ini dengan cepat dalam pikirannya. Perbedaan dalam data proyek bisa menjadi petunjuk penting tentang adanya manipulasi informasi. Namun, ia juga tahu bahwa masih ada yang lebih besar di balik pengakuan ini. Bu Nita masih belum sepenuhnya terbuka, dan kemungkinan besar ada tekanan eksternal yang menahannya untuk berbicara lebih jauh.
"Bu Nita," kata Raka dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. "Saya menghargai apa yang Anda sampaikan sejauh ini, tapi saya butuh Anda untuk jujur sepenuhnya. Apakah Anda merasa ada ancaman terhadap diri Anda jika Anda mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi?"
Bu Nita terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Air mata mulai mengalir di pipinya, menandakan bahwa tekanan yang ia rasakan jauh lebih besar daripada sekadar ketakutan kehilangan pekerjaan.
"Ya, Pak," jawab Bu Nita dengan suara yang gemetar. "Saya takut. Saya tidak tahu siapa yang bisa saya percayai lagi."
Raka diam sejenak, merasakan empati yang mendalam terhadap situasi Bu Nita. Wanita ini jelas terjebak dalam sebuah jaringan yang lebih besar dari sekadar kesalahan administrasi. Ada kekuatan-kekuatan yang bermain di belakang layar, dan Bu Nita hanyalah salah satu korban dari situasi ini.
"Bu Nita, saya berjanji bahwa kami akan melindungi Anda," kata Raka, menekankan pentingnya kerjasama yang jujur. "Tapi saya butuh Anda untuk bekerja sama dengan kami sepenuhnya. Jika Anda merasa terancam, kami akan memastikan keselamatan Anda. Yang terpenting adalah kita bisa mengungkap kebenaran di balik semua ini."
Bu Nita mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit lebih percaya diri. Meskipun ketakutan masih jelas terlihat di wajahnya, tampaknya wanita itu mulai menyadari bahwa berbicara jujur adalah satu-satunya jalan keluar.
"Saya akan mencoba, Pak," jawab Bu Nita akhirnya. "Tapi tolong... tolong jaga saya. Saya tidak ingin terlibat lebih jauh, tapi saya juga tidak bisa diam saja."
Raka mengangguk dengan penuh pengertian. Ini adalah salah satu momen di mana tugas sebagai penyidik lebih dari sekadar menggali informasi—ia harus memastikan keselamatan saksi dan mengelola rasa takut yang mereka rasakan.
"Kami akan memastikan Anda aman, Bu Nita," kata Raka dengan tegas. "Sekarang, mari kita lanjutkan. Anda bilang ada perbedaan dalam angka dan tanda tangan di dokumen ini. Apakah Anda tahu siapa yang mungkin bertanggung jawab atas perubahan tersebut?"
Bu Nita tampak ragu sejenak sebelum menjawab. "Saya... saya tidak yakin, tapi saya pernah mendengar beberapa nama disebut-sebut dalam percakapan antara atasan saya dan beberapa pihak dari luar. Saya tidak bisa memastikan, tapi saya rasa mereka tahu lebih banyak tentang perubahan yang terjadi."
Raka menyadari bahwa percakapan ini belum sepenuhnya selesai, tetapi pengakuan Bu Nita memberikan petunjuk yang lebih jelas tentang arah penyelidikan selanjutnya. Ada nama-nama yang terlibat, ada pihak-pihak yang tahu lebih banyak, dan sekarang tugas Raka adalah mengungkap siapa mereka dan sejauh mana keterlibatan mereka dalam pemalsuan ini.
*************
Pindah ke bab 5