Penghancuran
di Ruang Interogasi
“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”
Lanjutkan Novel Penghancuran di Ruang Interogasi!
Bab 3: Serangan Balik dari Pak Arif
Ruang interogasi yang semula terasa penuh ketegangan kini mulai memanas. Pencahayaan redup dari lampu di atas meja memberikan bayangan yang dalam di wajah Pak Arif, pejabat dari kantor yang mengurus izin lingkungan untuk aktivitas pertambangan, yang sejak tadi duduk berhadapan dengan Raka Santoso, seorang penyidik dan intel. Di balik ketenangan luar yang masih dipertahankannya, Pak Arif kini mulai memperlihatkan ekspresi berbeda. Ketegangan sudah tak bisa lagi disembunyikan. Setelah sesi tanya-jawab di babak sebelumnya yang penuh kebohongan kecil dan gerakan tubuh mencurigakan, kini Pak Arif mulai menyerang balik.
Raka, yang sudah terbiasa menghadapi orang-orang di bawah tekanan, duduk dengan tenang di kursinya. Dia tahu, dari nada suara dan perubahan kecil dalam sikap tubuh, bahwa ini adalah titik di mana orang seperti Pak Arif akan mencoba membela diri dengan segala cara. Ini adalah titik di mana mereka, alih-alih mengakui atau mengoreksi pernyataan, justru memilih menyerang balik, berharap bisa menggoyahkan kredibilitas penyidik atau dokumen yang ada di hadapan mereka.
Pak Arif menggenggam dokumen yang diberikan oleh Raka dengan tangan yang sedikit gemetar. Tetapi alih-alih memperlihatkan ketakutan, ia mulai berbicara dengan nada lebih tinggi, lebih penuh keyakinan, dan bahkan sedikit arogan. "Mas Raka, saya rasa kita perlu berbicara secara terbuka di sini," katanya sambil meletakkan dokumen itu di atas meja dengan sedikit bantingan. "Dokumen ini... apakah Bapak benar-benar yakin bahwa apa yang ada di sini adalah sesuatu yang valid? Maksud saya, dari mana asalnya? Siapa yang memberikan ini kepada Anda?"
Nada suara Pak Arif sudah mulai berubah dari defensif menjadi lebih agresif. Ia menatap Raka dengan intens, berusaha untuk menanamkan keraguan pada dokumen yang dipegang oleh Raka, sekaligus pada proses penyelidikan yang sedang berjalan. Pak Arif tahu bahwa dirinya sedang dalam posisi sulit, dan cara terbaik untuk melawan balik adalah dengan menantang dasar dari semua tuduhan ini—dokumen itu sendiri.
Raka menatap Pak Arif sejenak, menyadari perubahan strategi yang terjadi. Ini adalah taktik lama. Ketika orang-orang yang merasa terpojok mulai merasakan bahwa kebenaran mendekat, mereka akan mencoba menyerang sumbernya. Mereka akan menyerang penyidik, bukti, atau bahkan proses investigasi yang sedang berlangsung. Ini adalah serangan balik yang didasari rasa takut—sebuah usaha terakhir untuk menghindari konsekuensi yang semakin terlihat.
Raka membiarkan keheningan sejenak mengisi ruangan, membiarkan Pak Arif merasakan berat dari setiap kata yang baru saja diucapkannya. Dalam situasi seperti ini, terkadang diam adalah senjata paling ampuh. Ia tahu, jika ia terlalu cepat menanggapi serangan Pak Arif, hal itu akan membuat seolah-olah dia juga merasa terpojok, dan itu yang Pak Arif inginkan—sebuah celah untuk menggoyahkan keyakinan Raka.
Setelah beberapa detik yang terasa lebih lama dari biasanya, Raka menjawab dengan tenang, "Dokumen ini berasal dari arsip resmi, Pak Arif. Saya sudah memastikan bahwa setiap detail dalam dokumen ini diverifikasi oleh tim investigasi. Tidak ada keraguan tentang keabsahannya."
Pak Arif tersenyum tipis, senyum yang jelas menunjukkan ia sedang berusaha menekan rasa frustrasi yang terus membara di dalam dirinya. “Tim investigasi? Maksud saya, apakah mereka benar-benar memahami konteksnya? Saya sudah bekerja di kantor ini selama lebih dari dua puluh tahun, dan saya tahu betul bagaimana setiap proses berjalan. Dokumen-dokumen seperti ini sering kali hanya diisi oleh pihak-pihak yang tidak memahami detail di lapangan.”
Raka mengamati perubahan kecil dalam wajah Pak Arif. Jeda singkat antara kalimat-kalimatnya, cara pandangannya berubah ketika menyebutkan "dua puluh tahun pengalaman." Ini adalah upaya Pak Arif untuk menggunakan kekuatan pengalamannya sebagai tameng. Ia berharap, dengan membicarakan panjang lebar tentang pengalamannya, Raka akan mulai meragukan kemampuan timnya atau bahkan metode penyelidikan itu sendiri.
Tapi Raka tidak terpengaruh. Dia sudah sering menghadapi pejabat seperti Pak Arif, orang-orang yang, ketika terpojok, mencoba berlindung di balik otoritas dan pengalaman panjang mereka. Ini bukan soal apa yang mereka katakan, tapi bagaimana mereka mengatakannya.
“Pengalaman Bapak tentu saja sangat berharga dalam kasus ini,” ujar Raka dengan nada yang sama tenangnya. “Itu sebabnya saya sangat berharap Bapak bisa membantu menjelaskan beberapa hal yang mungkin masih belum sepenuhnya kami pahami. Saya ingin memastikan bahwa tidak ada yang terlewat.”
Mendengar itu, mata Pak Arif sedikit menyipit. Dia tahu, meskipun Raka terdengar seolah-olah menghargai pengalamannya, kenyataannya Raka sedang mencoba memaksa dia untuk berkonfrontasi dengan fakta-fakta yang ada dalam dokumen tersebut. Ini bukan lagi soal siapa yang punya pengalaman lebih lama, tetapi siapa yang bisa membuktikan kebenaran dari setiap klaim yang ada.
Pak Arif kemudian menyandarkan tubuhnya ke kursi, mencoba memproyeksikan sikap yang lebih santai, meskipun Raka bisa melihat ketegangan di balik setiap gerakannya. "Baik, jika Anda bersikeras bahwa dokumen ini sah, maka kita harus membicarakan kontennya, kan?" Ia berkata sambil melipat kedua tangannya di atas meja. "Lihat, saya tidak ada masalah dengan keseluruhan proses perizinan ini. Tapi saya ragu dengan dokumen ini, terutama yang berkaitan dengan AMDAL."
Raka menahan napasnya sejenak. Inilah saat yang ditunggu-tunggunya. AMDAL—Analisis Mengenai Dampak Lingkungan—seringkali menjadi titik kritis dalam banyak kasus perizinan tambang, terutama ketika ada upaya manipulasi atau penyalahgunaan kewenangan. Jika Pak Arif mulai meragukan bagian ini, Raka tahu bahwa dia sedang menggali lebih dalam ke arah yang sebenarnya. Semakin Pak Arif berbicara tentang AMDAL, semakin jelas kebohongan yang selama ini berusaha ia tutupi.
“Baik, kita bisa bicara soal AMDAL,” jawab Raka. “Ada beberapa kejanggalan di sana yang menarik perhatian kami. Tanda tangan pada dokumen ini, misalnya, tampaknya berbeda dengan yang lain. Apa Bapak bisa menjelaskan mengapa tanda tangan ini berbeda?”
Pak Arif terdiam sejenak. Matanya bergerak cepat, melihat dokumen di depan Raka, lalu kembali menatap penyidik itu. Ini adalah pertanyaan yang langsung mengenai inti dari kebohongan yang selama ini dia coba tutupi. Tanda tangan yang berbeda adalah bukti kuat adanya manipulasi, dan Pak Arif tahu bahwa ia harus hati-hati dalam menjawab.
"Saya tidak tahu tentang tanda tangan itu, Mas Raka," katanya akhirnya, dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya. "Mungkin ada kesalahan administrasi. Staf saya yang mengurus semua dokumen ini, jadi bisa saja mereka melakukan kesalahan."
Raka tersenyum tipis. Ini adalah jawaban yang sudah ia duga akan keluar. Pak Arif mulai mencoba mengalihkan kesalahan kepada stafnya, sebuah taktik umum yang digunakan pejabat tinggi ketika terpojok. Tetapi Raka tidak akan membiarkan itu terjadi.
“Kesalahan administrasi bisa terjadi, Pak,” kata Raka, masih dengan nada yang sama tenangnya. “Tapi ini bukan pertama kali kami menemukan tanda tangan yang berbeda di dokumen-dokumen penting seperti ini. Dan yang lebih menarik lagi, ini selalu terjadi di proyek-proyek yang melibatkan pihak tertentu.”
Pak Arif terlihat mulai gelisah lagi. Tangan yang sebelumnya dilipat kini mulai bergerak perlahan ke arah dokumen di meja. Dia tampak seperti sedang mencari sesuatu, mungkin sebuah jawaban yang bisa menyelamatkannya dari situasi ini.
“Mas Raka,” katanya dengan nada yang sedikit lebih tinggi lagi, “saya sudah bilang, saya tidak terlibat langsung dalam proses ini. Jika Anda punya masalah dengan dokumen ini, bicarakan dengan staf saya. Mereka yang bertanggung jawab atas semua ini.”
Raka tidak terkejut dengan serangan balik ini. Ia tahu Pak Arif akan mencoba mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain. Tetapi yang membuat Raka tetap tenang adalah fakta bahwa dia sudah melihat pola ini berulang kali. Pak Arif tidak bisa terus menghindari kenyataan. Setiap jawaban yang diberikan, setiap upaya untuk menyerang balik, justru semakin memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
“Saya akan bicara dengan staf Anda, tentu saja,” kata Raka dengan nada yang lebih tegas sekarang. “Tapi saya di sini untuk mendengarkan dari Bapak langsung, karena Bapak yang menandatangani perizinan ini. Apakah Bapak benar-benar ingin mengatakan bahwa Bapak tidak tahu apa-apa tentang ini?”
Pak Arif membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi tidak ada suara yang keluar. Dia tampak terpukul oleh pertanyaan langsung itu. Raka bisa melihat bagaimana ekspresi wajahnya berubah dari yakin menjadi ragu-ragu. Serangan balik yang tadi dilancarkan dengan penuh keyakinan mulai memudar. Pak Arif sadar bahwa semakin dia berbicara, semakin banyak kemungkinan dia akan terjebak dalam kebohongan yang telah dia bangun.
Senyum sinis di wajah Raka tidak bisa dia sembunyikan. Di dalam dirinya, dia merasa telah menemukan titik lemah Pak Arif. “Anda seharusnya tidak merasa terancam, Pak Arif. Kami semua di sini memiliki tujuan yang sama—untuk memastikan bahwa setiap proses berjalan sesuai dengan prinsip dan nilai yang seharusnya,” Raka berusaha meyakinkan.
“Prinsip?” Pak Arif menekankan, suara penuh skeptisisme. “Mari kita bicara tentang prinsip, Pak Raka. Dalam posisi Anda, apakah Anda benar-benar bisa menjamin bahwa semua keputusan yang diambil adalah tanpa pengaruh eksternal? Semua orang di sini memiliki tekanan dari atasan mereka masing-masing, dan Anda tahu itu.”
Raka menyadari bahwa Pak Arif sedang mencoba untuk mengalihkan perhatian dari topik inti—kebohongan di balik tanda tangan dokumen AMDAL. “Tentu, saya paham. Tapi yang saya tanyakan adalah tentang kejujuran dalam proses ini. Kita semua harus siap untuk menghadapinya, bukan?”
“Kejujuran?” Pak Arif terkekeh. “Apakah Anda merasa diri Anda sangat jujur? Saya tahu bahwa Anda juga berada di bawah tekanan. Anda ingin membuktikan bahwa Anda bisa mengeluarkan fakta yang mungkin tidak sepenuhnya akurat. Anda ingin mengalahkan saya dalam permainan ini.”
Raka tidak gentar. Dia menyadari bahwa permainan psikologis ini merupakan bagian dari strategi Pak Arif. “Saya di sini bukan untuk mengalahkan Anda, Pak Arif. Saya di sini untuk memastikan bahwa kita semua bertanggung jawab atas tindakan kita. Tidak ada yang diuntungkan dengan kebohongan.”
Suasana menjadi semakin tegang, tetapi Raka tahu dia harus bertahan. Dia melanjutkan, “Mari kita fokus pada dokumen yang ada di depan kita. Apakah Anda bisa menjelaskan lebih lanjut tentang proses tanda tangan AMDAL? Siapa yang sebenarnya terlibat? Dan apakah Anda memiliki bukti bahwa proses tersebut berjalan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan?”
Pak Arif mengerutkan dahi, tampak berusaha mencari kata-kata yang tepat. Raka merasakan bahwa tekanan sudah mulai menghimpit Pak Arif. Dalam menghadapi interogasi ini, Pak Arif berusaha menguasai situasi dengan nada defensif, tetapi tidak dapat menyembunyikan kegugupannya yang mulai terlihat.
“Dokumen itu sudah diverifikasi oleh tim kami,” jawab Pak Arif dengan suara bergetar. “Kami mengikuti semua langkah yang diperlukan.”
Raka menatap Pak Arif dengan tajam, “Namun, ada banyak laporan yang menunjukkan bahwa tidak semua langkah diikuti dengan benar. Apakah Anda bisa menjelaskan mengapa ada begitu banyak ketidaksesuaian dalam laporan-laporan tersebut? Apakah Anda juga bersedia untuk membagikan rekaman percakapan dan notulen rapat yang membahas proses ini?”
Pak Arif menatap Raka dengan mata tajam, terlihat jelas bahwa dia merasa terpojok. “Anda tidak bisa meminta hal-hal yang tidak relevan. Itu bukan cara kami beroperasi. Semua yang kami lakukan adalah untuk kepentingan proyek ini.”
“Namun kepentingan proyek seharusnya tidak mengorbankan kebenaran dan integritas,” balas Raka, tetap tenang. “Jika kita semua berkomitmen untuk menjalankan tugas kita dengan baik, maka tidak ada yang perlu ditutupi. Saya yakin Anda ingin membuktikan bahwa semua yang telah Anda lakukan adalah sesuai dengan etika dan peraturan.”
Suasana dalam ruang pemeriksaan semakin mencekam. Raka tahu bahwa dia harus memanfaatkan kesempatan ini. “Mari kita kembali ke dokumen yang telah saya tunjukkan. Anda tahu bahwa banyak dari kami yang sangat peduli terhadap isu lingkungan. Kami tidak bisa membiarkan keputusan yang diambil berdasarkan informasi yang tidak akurat. Apakah Anda tidak setuju bahwa kita semua bertanggung jawab untuk memastikan bahwa informasi yang disajikan adalah transparan dan akurat?”
Pak Arif tampaknya terguncang. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan. “Saya tidak pernah mengatakan bahwa kami tidak bertanggung jawab. Kami selalu berusaha melakukan yang terbaik.”
“Namun, apakah itu cukup, Pak Arif? Apakah melakukan yang terbaik berarti mengabaikan kebenaran?” Raka melanjutkan, bersikeras dengan argumennya. “Ini bukan hanya tentang proyek ini. Ini tentang masa depan kita semua dan dampak yang akan ditinggalkan untuk generasi yang akan datang. Jika kita tidak berani mengakui kesalahan, bagaimana kita bisa memperbaiki semuanya?”
Pak Arif mengalihkan tatapannya, tampak tertekan oleh argumen Raka. Saat ini, Raka merasa bahwa dialah yang memegang kendali. Dia memutuskan untuk menambah tekanan lebih lanjut. “Apakah Anda bersedia untuk mengambil tanggung jawab penuh atas semua keputusan yang telah dibuat? Apakah Anda bersedia untuk membuktikan bahwa tidak ada informasi yang disembunyikan, dan semua dokumen dapat diperiksa?”
Pak Arif tampak tidak nyaman, dengan telapak tangannya yang mengepal di atas meja. “Saya tidak perlu membuktikan apapun kepada Anda,” jawabnya, berusaha tetap menampilkan sikap percaya diri. “Anda mungkin merasa berkuasa sekarang, tetapi Anda juga harus ingat siapa yang sebenarnya memiliki wewenang di sini.”
Raka bisa melihat perubahan nada suara Pak Arif yang menunjukkan bahwa dia mulai kehilangan kendali. Raka menanggapi dengan nada yang lebih lembut, “Pak Arif, bukan tentang siapa yang memiliki kekuasaan, tetapi tentang siapa yang benar-benar peduli terhadap kebenaran dan keadilan. Kita semua di sini karena kita peduli dengan masa depan dan ingin memastikan bahwa semua proses berlangsung dengan baik.”
“Jadi, apa langkah selanjutnya?” tanya Raka, menatap Pak Arif dengan penuh harapan. “Apakah kita bisa berbicara secara terbuka dan jujur tentang apa yang terjadi, tanpa ada lagi pertikaian?”
Pak Arif terdiam sejenak, tampak merenungkan kata-kata Raka. Akhirnya, dia menurunkan suaranya, “Baiklah, saya rasa kita bisa membahas ini lebih lanjut. Tetapi Anda juga harus ingat bahwa saya tidak bisa mengungkapkan semua hal yang Anda minta. Ada batasan dalam informasi yang bisa saya bagikan.”
Raka menyambut perubahan sikap itu dengan positif. “Tentu, saya mengerti. Tetapi setiap langkah ke arah kejujuran adalah langkah yang baik. Jika kita bisa bekerja sama untuk menemukan solusi.”
Ruang interogasi itu perlahan mulai terasa lebih tenang. Walaupun masih ada ketegangan yang menyelimuti, tetapi tampaknya ada jalan keluar dari situasi ini. Raka merasa telah memecahkan tembok yang menghalangi komunikasi. Dia merasa optimis dan bertekad untuk melanjutkan proses ini dengan cara yang lebih konstruktif.
Pak Arif kemudian mengambil napas dalam-dalam dan mulai menjelaskan proses yang dilaluinya terkait dokumen AMDAL. Raka mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap detail dan meresapi setiap kata yang diucapkan. Saat pertemuan berlangsung, Raka merasakan kelegaan. Dia tahu bahwa mereka sedang bergerak ke arah yang lebih baik, meskipun masih banyak yang perlu dilakukan untuk mencapai keadilan yang diinginkan.
Namun, di dalam hatinya, Raka juga merasa waspada. Dia menyadari bahwa permainan ini jauh dari selesai. Masih banyak kebohongan yang harus dihadapi dan banyak tantangan yang menanti. Satu hal yang pasti, dia tidak akan berhenti sampai kebenaran terungkap, apapun yang harus dilakukan.
Setelah itu, Raka keluar dari ruangan dengan kepala tegak, merasa bahwa dia telah melakukan sesuatu yang penting. Dia telah mengambil langkah yang berani untuk menghadapi seorang pejabat tinggi yang berusaha menutupi kebenaran. Raka tahu bahwa ini hanya permulaan dari perjalanan yang panjang, tetapi dia siap menghadapi apapun yang akan datang.
Saat berjalan pulang, Raka merenungkan semua yang telah terjadi. Dia merasa lega bahwa interogasi itu berlangsung dengan lebih baik daripada yang dibayangkan. Namun, di balik rasa lega itu, ada rasa tidak pasti yang mengintai. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Pak Arif akan berusaha menyerang balik dengan lebih kuat? Raka tidak bisa memprediksi apa yang ada di depan, tetapi satu hal yang pasti, dia akan terus berjuang untuk kebenaran.
Kepala Raka dipenuhi dengan rencana-rencana untuk langkah berikutnya. Dia akan bertemu dengan timnya untuk merumuskan strategi lebih lanjut, memastikan bahwa mereka tidak kehilangan momentum. Kebenaran harus terungkap, dan Raka bersumpah untuk tidak membiarkan siapapun menghalanginya.
*************
Pindah ke bab 4