Penghancuran
di Ruang Interogasi

“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”

Baca Novel Penghancuran di Ruang Interogasi!

Bab 2: Kebohongan yang Terlihat

Ruangan interogasi itu lagi-lagi terasa sunyi ketika Raka Santoso memasuki ruangan untuk ketiga kalinya. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah hari, tapi suasana di dalam ruang itu seolah berhenti di antara detik-detik yang lambat. Lampu neon masih memancarkan cahaya yang dingin dan menusuk mata. Suhu ruangan itu juga terasa terlalu dingin. Di dalam ruang tembok putih yang polos itu, Raka merasa seperti sedang masuk ke dalam sebuah permainan pikiran. Permainan ini selalu membutuhkan kesabaran, strategi, dan insting yang tajam. Dan kali ini, dia harus memainkan permainannya dengan lebih teliti.

Pak Arif sudah duduk di kursi yang sama, di posisi yang sama, seperti dua hari yang lalu. Hanya saja kali ini ada perubahan kecil pada sosoknya. Tatapan yang sebelumnya sedikit gugup kini tampak lebih percaya diri, seolah-olah ia telah mempersiapkan mentalnya lebih baik untuk menghadapi interogasi kedua ini. Dengan kemeja biru muda yang lebih rapi dan rambut yang tersisir licin, Pak Arif berusaha menunjukkan bahwa ia sudah siap menghadapi Raka.

Tetapi Raka tahu, tidak ada yang bisa sepenuhnya siap di ruang interogasi ini. Di balik penampilan yang lebih rapi dan senyuman tipis itu, ada lapisan kegelisahan yang bersembunyi. Dan itulah yang akan Raka ungkap hari ini.

"Pak Arif," sapa Raka dengan nada datar, tapi tegas. "Mari kita lanjutkan percakapan kita. Saya rasa kali ini kita bisa menyelesaikan beberapa hal yang belum sempat kita bahas kemarin."

Pak Arif mengangguk sambil melemparkan senyum tipis. "Tentu saja, Mas Raka. Saya siap menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda."

Raka membuka map merah di hadapannya dan menyiapkan beberapa dokumen yang akan menjadi bahan diskusi kali ini. Kali ini, ia tidak akan langsung menekan Pak Arif seperti interogasi pertama. Permainan pikiran seperti ini membutuhkan pendekatan bertahap. Hari ini, Raka akan bermain dengan sedikit lebih halus, menguji sejauh mana Pak Arif mampu bertahan dalam kebohongan yang mungkin sudah ia persiapkan.

"Baiklah, Pak Arif," kata Raka sambil merapikan letak map di depannya. "Kemarin kita sudah berbicara sedikit tentang proses perizinan yang Bapak tanda tangani. Saya ingin kembali ke topik tersebut, tapi dengan sedikit fokus yang berbeda."

Pak Arif tetap tenang, mengangguk pelan. Raka bisa melihat matanya berusaha tetap fokus pada percakapan, meskipun napasnya sedikit lebih cepat dari biasanya.

"Apakah Bapak ingat dokumen AMDAL yang Bapak setujui?" Raka memulai dengan nada ringan, seolah-olah ini hanyalah pertanyaan biasa.

Pak Arif mengangguk. "Tentu saja, Mas Raka. Semua dokumen yang berkaitan dengan AMDAL sudah diverifikasi oleh tim lingkungan hidup. Saya hanya menandatangani apa yang sudah melewati proses tersebut."

Raka mencatat jawaban itu dalam pikirannya. Ini adalah pola yang biasa ia temukan dari orang-orang yang berusaha menghindari tanggung jawab langsung. "Tim saya yang memverifikasi, saya hanya menandatangani." Alasan klasik.

"Baik, Pak Arif. Saya ingin memastikan satu hal saja. Ini adalah salinan dokumen AMDAL yang ditandatangani oleh Bapak, betul?" Raka mengeluarkan salinan dokumen dari mapnya, lalu menyerahkannya ke Pak Arif.

Pak Arif mengambil dokumen itu dan membacanya sekilas. Tangannya terlihat stabil saat memegang kertas, tetapi Raka melihat sesuatu yang lebih halus. Ada ketukan kecil pada jari-jari Pak Arif, hampir tidak terlihat, tapi cukup bagi Raka yang sudah terlatih untuk membaca bahasa tubuh. Jari telunjuk Pak Arif mengetuk meja, berirama. Itu bukan hanya gerakan acak; itu adalah tanda kegelisahan. Tanda kebohongan klasik.

Raka menahan senyum. Kebohongan sering kali muncul melalui bahasa tubuh sebelum keluar dari mulut seseorang. Tanda-tanda seperti itu sering lebih jujur daripada kata-kata.

"Ya, ini dokumen yang saya tandatangani," kata Pak Arif setelah melihatnya beberapa detik. "Seperti yang saya katakan, dokumen ini sudah diverifikasi oleh tim terkait."

Raka mengangguk, berpura-pura menerima jawabannya begitu saja. Tapi pikirannya sudah mulai bekerja lebih cepat, merangkai titik-titik kebohongan yang tersirat.

"Kalau begitu, izinkan saya bertanya lebih spesifik, Pak Arif," lanjut Raka sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Apakah Bapak menyadari adanya perubahan dalam dokumen ini sebelum Bapak menandatanganinya?"

Pak Arif menatap Raka dengan ekspresi yang lebih serius sekarang. "Perubahan? Apa maksud Anda, Mas Raka?"

Raka menarik satu salinan dokumen yang lain dari mapnya. Kali ini ia menunjukkan dokumen AMDAL yang sama, tetapi dengan beberapa perbedaan. "Ini adalah dokumen versi asli sebelum ada perubahan yang dilakukan. Lihat halaman ini, Pak Arif. Ada beberapa perbedaan kecil, tapi perbedaan ini sangat signifikan."

Raka menyerahkan dokumen itu pada Pak Arif, memperhatikan reaksinya dengan seksama. Wajah Pak Arif tetap tenang, tetapi lagi-lagi, Raka menangkap gerakan kecil—sebuah kedutan di sudut bibirnya, seolah-olah ia berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu.

"Saya tidak ingat melihat dokumen versi ini," kata Pak Arif dengan nada yang lebih kaku. "Seperti yang saya katakan, semua dokumen yang sampai ke meja saya sudah melalui verifikasi tim."

Raka tersenyum dalam hati. Kebohongan itu semakin terlihat. Pria di hadapannya ini jelas sedang menyembunyikan sesuatu, dan setiap gerakan kecil tubuhnya, dari ketukan jari di meja hingga kedutan bibirnya, semakin memperjelas bahwa dia sedang berbohong.

"Baik, saya mengerti," kata Raka dengan tenang. "Tapi saya merasa ada yang menarik di sini, Pak Arif. Bagaimana mungkin dokumen yang begitu penting bisa mengalami perubahan tanpa Bapak mengetahuinya?"

"Saya tidak tahu, Mas Raka," jawab Pak Arif dengan nada yang terdengar lebih tegas sekarang, seolah ia mencoba mempertahankan kontrol atas percakapan. "Mungkin ada kesalahan di tim verifikasi."

Raka mengangguk, berpura-pura seolah menerima jawaban itu lagi. Tapi kali ini ia tidak akan membiarkan Pak Arif lolos begitu saja. Kali ini, ia harus lebih dalam lagi.

"Saya paham," kata Raka. "Tapi sebelum kita lanjut, saya ingin memastikan satu hal lagi. Apakah ini tanda tangan Bapak di sini?" Raka menunjuk tanda tangan di dokumen yang sudah berubah, tepat di bawah bagian yang paling penting—bagian yang memberikan lampu hijau pada perusahaan tambang untuk melanjutkan proyek mereka.

Pak Arif memandang tanda tangan itu, dan untuk pertama kalinya, Raka melihat sebuah ekspresi ragu di wajahnya. Meskipun itu hanya sekejap, Raka tidak melewatkannya. Pak Arif kemudian mengangguk, tapi kali ini lebih lambat, lebih berhati-hati.

"Ya, itu tanda tangan saya," jawab Pak Arif akhirnya, suaranya sedikit lebih rendah.

Raka tidak langsung merespon. Sebaliknya, ia membiarkan keheningan menggantung di udara, menciptakan tekanan yang tak terlihat namun sangat terasa. Ruangan itu tiba-tiba terasa semakin sempit, semakin mencekik. Raka tahu, dalam keheningan seperti inilah banyak orang akhirnya goyah. Dan ia bisa melihat bahwa Pak Arif mulai merasa tidak nyaman lagi.

"Saya ingin Bapak mengingat kembali," kata Raka dengan nada lebih tenang, hampir seperti berbisik. "Apakah Bapak benar-benar yakin bahwa tanda tangan ini adalah milik Bapak, dan bahwa Bapak mengetahui perubahan yang ada pada dokumen ini?"

Pak Arif menelan ludah, matanya berkedip lebih cepat dari biasanya. Raka bisa melihat bagaimana pria itu berusaha keras untuk tetap tenang, tetapi setiap gerakan kecil—setiap kedutan pada bibir, setiap ketukan jari—mengatakan yang sebaliknya. Tekanan psikologis yang Raka ciptakan mulai menunjukkan hasilnya. Pak Arif semakin terlihat gelisah, dan itulah yang diharapkan oleh Raka.

"Seperti yang saya katakan, saya tidak tahu tentang perubahan ini," jawab Pak Arif lagi, tetapi kali ini ada sedikit ketidakpastian dalam suaranya.

Raka mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan keheningan itu kembali merayap ke dalam ruangan. Pak Arif menatap dokumen di depannya, dan Raka bisa melihat tangan pria itu semakin gemetar. Pak Arif mungkin tidak menyadarinya, tetapi tubuhnya sudah berbicara lebih banyak daripada mulutnya.

"Saya mengerti, Pak Arif," kata Raka akhirnya, memecah keheningan. "Mungkin kita bisa bahas ini lebih lanjut nanti."

Raka kemudian menutup map merah di depannya dengan pelan, tapi tetap menatap mata Pak Arif. Ia tahu bahwa kebohongan itu semakin terlihat. Kini, tinggal menunggu waktu untuk semua itu terungkap sepenuhnya.

*************
Pindah ke bab 3