Penghancuran
di Ruang Interogasi
“Sebuah thriller psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang interogator menggunakan teknik membaca orang sebagaimana digambarkan dalam buku Non Fiksi
Seni Membaca Orang:
Menguasai Bahasa Tubuh dan Sinyal Emosional,
oleh Nlauselang”
Baca Novel Penghancuran di Ruang Interogasi!
Bab 1: Panggilan Pertama
Suara jam dinding berdetak pelan, namun suaranya terdengar sangat jelas di ruangan pemeriksaan yang sangat hening itu. Lampu neon yang menggantung di langit-langit menyala dengan cahaya putih yang dingin, menciptakan suasana steril dan menegangkan. Di ruangan yang sempit itu, hanya ada dua kursi yang berhadapan, dengan sebuah meja kayu di tengahnya. Tidak ada jendela, hanya dinding putih polos yang memantulkan sedikit cahaya. Ruangan interogasi ini tampak sederhana, tetapi bagi orang yang berada di dalamnya, suasana tersebut bisa berubah menjadi tekanan yang menyesakkan. Apalagi bagi mereka yang dipanggil untuk memberikan keterangan.
Raka Santoso duduk di satu sisi meja, dengan tubuh tegap dan tangan bersilang di depan dada. Wajahnya tenang, hampir tanpa emosi, tetapi matanya tajam seperti elang, mengamati setiap gerakan orang di hadapannya. Sebagai penyidik senior, ia sudah terbiasa menangani berbagai jenis kasus, mulai dari pencurian hingga korupsi berskala besar. Tapi kasus yang satu ini, yang melibatkan dugaan korupsi dalam perizinan tambang, terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam, seolah-olah kasus ini hanya puncak dari gunung es.
Di depannya duduk Pak Arif, pejabat di kantor yang mengurus izin lingkungan. Pria berusia pertengahan lima puluhan itu tampak tertekan. Kemejanya yang biasanya rapi kini tampak kusut, dan tangan kirinya terus-menerus bermain dengan pulpen yang ia genggam, memutar-mutar benda kecil itu tanpa henti. Meskipun wajahnya mencoba terlihat tenang, bahasa tubuhnya mengisyaratkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.
Raka sudah menangani banyak orang dalam posisi seperti Pak Arif. Dia tahu kapan seseorang berusaha menyembunyikan sesuatu, dan tanda-tanda itu sudah tampak jelas sejak awal. Dari gerakan tangan yang tak tenang, pupil mata yang sedikit melebar dan napas yang sedikit lebih berat daripada biasanya, Pak Arif mungkin tidak menyadari bahwa tubuhnya telah berbicara lebih banyak daripada mulutnya.
"Kita lanjutkan ya, Pak Arif," kata Raka dengan nada datar.
Pak Arif mengangguk pelan, tetapi tidak berkata apa-apa. Matanya menghindari tatapan Raka, memandang ke arah dokumen-dokumen yang tergeletak di atas meja. Raka bisa melihat bahwa pria itu sedang berusaha keras menenangkan dirinya, tetapi tekanan di ruangan ini semakin membuatnya sulit untuk bernapas.
"Saya hanya ingin Anda jujur," lanjut Raka sambil membuka map merah di depannya. "Ini akan jauh lebih mudah jika kita bekerja sama."
Pak Arif menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut. "Saya... Saya sudah menjalankan semua prosedur sesuai aturan, Mas Raka. Semua perizinan yang keluar dari kantor saya sudah melalui verifikasi."
Raka mengangkat alisnya sedikit, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia membiarkan keheningan menggantung di udara untuk beberapa detik, memberi Pak Arif ruang untuk merasakan tekanan itu semakin dalam. Keheningan, bagi seorang penyidik seperti Raka, adalah alat yang sangat efektif. Ia tahu bahwa di bawah tekanan diam, orang cenderung menunjukkan lebih banyak ketakutan dan ketidaknyamanan.
"Verifikasi, ya?" kata Raka akhirnya, memecah keheningan. "Lalu, mengapa ada beberapa dokumen yang menunjukkan tanda-tanda perubahan setelah proses verifikasi? Saya punya dua versi dokumen di sini, Pak Arif. Salah satu dari sebelum revisi, dan satu lagi setelah. Menariknya, versi yang terakhir tampaknya sangat menguntungkan pihak perusahaan tambang."
Pak Arif tersentak sedikit, meskipun ia berusaha keras untuk tidak terlihat kaget. Wajahnya seketika memucat, dan tangan yang sejak tadi memegang pulpen kini mulai gemetar. Raka melihat itu, dan itu sudah cukup baginya untuk melanjutkan.
"Saya tidak mengerti maksud Anda," jawab Pak Arif, suaranya terdengar lebih serak dari sebelumnya. "Saya hanya menandatangani dokumen yang sudah disahkan oleh tim verifikasi. Jika ada perubahan, mungkin itu dilakukan oleh mereka."
Raka tersenyum kecil, meskipun senyum itu lebih mirip senyum yang tak memberikan kenyamanan. "Pak Arif, sebagai kepala kantor, tanggung jawab penuh ada di tangan Anda. Setiap keputusan yang diambil oleh tim Anda, pada akhirnya, adalah keputusan Anda. Jadi, saya perlu Anda menjelaskan bagaimana perubahan ini bisa terjadi tanpa sepengetahuan Anda."
Pak Arif membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi tidak ada kata yang keluar. Raka bisa melihat otaknya bekerja keras, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Namun, dalam posisi seperti ini, sulit bagi siapapun untuk berpikir jernih. Tekanan psikologis yang dirasakan oleh orang-orang seperti Pak Arif adalah sesuatu yang sudah biasa Raka manfaatkan. Ketika seseorang merasa mereka sudah terpojok, mereka akan mulai membuat kesalahan, dan di situlah Raka masuk.
"Jadi, bagaimana Bapak bisa tidak tahu tentang perubahan ini?" Raka menegaskan, matanya tajam mengawasi setiap gerakan kecil di wajah Pak Arif.
"Tim saya... mungkin mereka yang bertanggung jawab. Saya hanya menandatangani apa yang sudah diverifikasi oleh mereka. Saya tidak bisa memeriksa setiap detail," jawab Pak Arif terbata-bata, kali ini dengan nada yang lebih defensif.
"Tapi Anda tetap menandatangani, Pak Arif," Raka melanjutkan tanpa memberi ruang bagi Pak Arif untuk bernapas. "Itu artinya Anda bertanggung jawab penuh. Dan jika ada manipulasi di dalam dokumen-dokumen ini, maka kita harus mempertanyakan siapa yang sebenarnya memberikan perintah."
Pak Arif terdiam lagi. Keheningan itu panjang, lebih lama daripada sebelumnya, dan semakin terasa mencekam. Detak jarum jam di dinding menjadi satu-satunya suara yang terdengar, semakin menguatkan ketegangan yang menggantung di udara. Raka menunggu, memberikan Pak Arif waktu untuk merasa semakin tertekan oleh keheningan itu.
"Jadi, siapa yang memberi perintah, Pak Arif?" tanya Raka, kali ini suaranya lebih lembut, namun tak kalah menekan. "Atau apakah Anda sendiri yang terlibat dalam manipulasi ini?"
Kata-kata itu membuat wajah Pak Arif semakin pucat. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan tangan yang tadi memegang pulpen kini gemetar semakin hebat. Ia tahu bahwa ia sedang dipojokkan, dan tidak ada cara mudah untuk keluar dari situasi ini.
"Saya... Saya tidak tahu apa yang terjadi, Mas Raka," jawab Pak Arif dengan nada penuh ketakutan. "Saya hanya menjalankan tugas saya. Jika ada yang salah, itu bukan karena saya."
Raka menarik napas panjang, lalu meletakkan map dokumen di atas meja dengan pelan. Ia memandang Pak Arif dengan tatapan yang tajam, seolah mencoba menembus lapisan kebohongan yang sudah mulai terbentuk. Raka tahu bahwa pria ini tidak akan mengaku dengan mudah. Tidak akan ada pengakuan eksplisit dalam interogasi pertama. Tapi Raka tidak pernah berharap akan mendapatkannya dalam pertemuan awal ini.
"Pak Arif," katanya dengan nada yang lebih tenang, hampir seolah mereka sedang mengobrol biasa. "Saya sudah cukup lama menangani kasus seperti ini. Saya tahu betapa sulitnya untuk mengakui sesuatu yang mungkin tidak sepenuhnya Bapak kendalikan. Tapi ingat satu hal: semakin cepat Bapak jujur, semakin baik posisi Anda nanti. Saya bisa membantu, tapi hanya jika Bapak juga mau membantu saya."
Pak Arif hanya menunduk. Tubuhnya tampak lebih kaku sekarang, seolah-olah ia sedang berusaha menahan beban yang semakin berat. Raka mengamati ekspresi pria itu dengan seksama, mencari celah, mencari titik di mana ia bisa lebih mendesak.
Namun, sebelum Raka bisa melanjutkan, pintu ruangan itu terbuka. Seorang asisten masuk, memberikan isyarat pada Raka bahwa waktu mereka sudah habis. Raka mengangguk singkat, lalu bangkit dari kursinya.
"Kita akan melanjutkan lagi nanti, Pak Arif," katanya sambil merapikan map di atas meja. "Saya harap saat kita bertemu lagi, Bapak sudah siap untuk lebih terbuka."
Pak Arif tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, seperti seseorang yang sudah kehabisan tenaga untuk melawan. Raka tahu bahwa ia sudah membuat celah dalam pertahanan pria itu, tetapi ini baru awal. Permainan psikologis ini masih panjang, dan Raka tidak terburu-buru. Ia sudah terbiasa dengan interogasi seperti ini.
*************
Pindah ke bab 2